TERORIS
Indah
Kurniasari
Mungkin sudah
lama sekali aku tak berjumpa dengannya. Orang yang benar-benar hebat, sayang
sekali hidupnya tak dapat menikmati keindahan dunia ini. aku bersyukur sempat
bertemu dengan orang macam dia. Iya, namanya Sumarlan Sastro Dikromo. Kalau
dilihat dari namanya ia memang orang ndalem
atau ada keturunan darah biru. Sayang beribu sayang ia sudah tidak diakui lagi
oleh keluarga besarnya.
Bagiku,
Sumarlan adalah sosok yang bersahaja. Ia sahabat yang sangat peduli dan ringan
tangan. Senymannya, aku masih mengingatnya. Bagaimana kabarnya orang itu
sekarang? Apakah di tempat barunya yang memang jauh itu ia baik-baik saja?
Apakah ia bahagia di sana?
Aku mengenal
betul siapa Sumarlan dari Ibuku. Ia pernah bersekolah di salah satu universitas
negeri mengambil jurusan teknik nuklir. Saat ia menempuh pendidikan ia mengenal
dan jatuh cinta dengan seorang gadis bernama Laksmi. Gadis yang cantik ketika
masa itu, berambut ikal tergerai sepinggang, memiliki tahi lalat kecil di atas
bibirnya. Gadis yang setiap pagi menitipkan donat di kantin fakultas Marlan,
dan setiap sore mengambil uang yang dihasilkan dari penjualan donat.
Tanpa pikir
panjang Sumarlan mengutarakan niatannya untuk menikahi Laksmi kepada keluarga
besarnya di Solo. Sontak keluarga besarnya menolak niatan Marlan untuk menikahi
Laksmi yang bukan dari kalangan bangsawan. Laksmi hanyalah seorang gadis
kampung penjual donat. Tapi Marlan sangat tertambat hatinya oleh pesona
sederhana Laksmi. Niatannya untuk menikahi Laksmi sudah tidak bisa diganggu
gugat. Akhirnya Marlan-pun dicoret namanya dari keluarga besar Sastro Dikromo.
Garis keturunan
kebangsawanan Marlan sudah tidak ada. Pendidikan-pun terbengkalai. Aku tahu
bagaimana perasaan Marlan pada saat itu. Di satu sisi ia ingin tetap
mempertahankan kebangsawanan dengan segala fasilitas ekonomi yang mumpuni. Di
sisi lain cinta Marlan terhadap Lastri sudah bulat, Marlan sudah nembung ke orang tua Lastri untuk
dipinang di kaki gunung merapi, dan orang tua Lastri-pun setuju. Malu bukan
kepalang jika ia harus mengingkari janjinya menikali wanita itu hanya karena
pihak orang tuanya tidak setuju. Laki-laki harus punya kepribadian dan pantang
menjilat air liurnya. Itulah yang membuatku bangga dengan Marlan.
Bagaimana-pun
caranya ia bekerja mencari uang untuk melancarkan niat menikahi Lastri. Dengan
bekal pendidikan yang tidak sampai tamat itu ia mampu menghasilkan uang untuk
bekal menikahi wanita pujaan hatinya. Untungnya keluarga Laksmi di kaki gunung
merapi itu tidak keberatan menerima Marlan yang sudah tidak kaya lagi, Marlan
yang bukan bangsawan lagi. Senang hatiku melihat Marlan bahagia dengan
keputusannya. Walaupun yang kutahu Marlan hidupnya serba kekurangan.
Tak kuketahui
dari mana Marlan mendapat uang, yang kutahu ia sempat melanjutkan pendidikannya
di perguruan tinggi swasta, dengan beasiswa mahasiswa berprestasi, dengan
jurusan yang berbeda, yakni teknik elektro. Lagi-lagi ia tak sempat menamatkan
pendidikannya karena Laksmi melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Budiman. Kebutuhan ekonomi keluarganya saat itu lebih membutuhkan perhatian
Marlan dibanding dengan menamatkan pendidikan S1-nya.
Sungguh lucu
dan menarik kehidupan Marlan ini. Sebenarnya ia ini orang yang pandai, tampan,
punya banyak mitra kerja. Sayang kerika dihadapkan dengan urusan Laksmi ia akan
keok seperti ayam yang kalah diadu.
Walaupun demikian, ia orang yang tidak pernah mengeluh. Mengeluh padaku saja ia
tak pernah, mengeluh pada Ibuku yang ia kenal jauh hari sebelumku juga tak
pernah. Kami ini dianggap seperti apa? Padahal aku dan Ibuku menganggap Marlan
sebagai sahabat yang tiada duanya. Sikapnya yang tegas dan bijaksana akan
tetapi mengayomi siapa saja membuatku hormat kepadanya. Aku merindukannya,
kapan aku dapat bersua dengannya kembali meneguk segelas teh pahit di pagi hari
sambil menantang matahari yang mulai meringis
di pinggir sawah.
Aku ingat benar
kehidupan Marlan yang bekerja apa saja demi menghidupi anak-anaknya, ada
Budiman, Atika, dan Teguh. Apapun dilakoni Marlan agar ketiga anaknya dapat
bersekolah hingga S1. Nasibnya-pun tidak akan sama dengannya yang magak. S1 saja tidak tamat dan akhirnya
susah mendapat pekerjaan yang bagus bayarannya.
Hingga suatu
hari ia memutuskan untuk bekerja di luar kota meninggalkan istri dan
anak-anaknya. Ia ingin bekerja dengan bayaran yang lebih banyak. Kalau ke Jogja
di sana sudah banyak orang pandai yang bekerja dengan bayaran yang banyak. Ia
putuskan untuk pergi ke Surabaya. Mungkin kota Surabaya tidak sekejam kota
Jakarta dan Jogjakarta, apalagi tidak sekejam kaki gunung Merapi. Sejak hari itulah
aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi ia berjanji akan selalu berkirim surat
untukku. Janji itulah yang aku nanti.
Di sana ia
bertemu dengan orang yang memberinya pekerjaan yang mungkin sesuai dengan
pendidikan yang pernah ia tempuh walaupun tidak tamat. Ia diminta untuk bekerja
merakit senjata api dan peledak atau yang sering disebut dengan bom untuk
kepentingan instansi militer. Kalau soal bayaran jangan ditanya. Bayarannya
sangat menggiurkan. Berapa nominalnya akupun tak pernah dikabari, yang pasti ia
selalu mengirimkan uang untuk keluarganya. Kehidupan keluarganya di kampung
sini menjadi lebih baik.
Selama sepuluh
bulan Marlan tak pernah lagi berkirim kabar mengenai dirinya, yang dikirimkan
hanyalah segebok uang tanpa sepucuk surat. Aku dan keluarganya tak bisa
mengetahui kabarnya. Ada apa dengan sahabatku ini? bosankah ia menulis surat
kepadaku dan kepada keluarganya? Apa ia pikir dengan uang ini kerinduanku dan
keluarganya bisa terobati? Sudah dua tahun Marlan tak pernah menjejakkan
kakinya di tanah ini, tanah kaki gunung Merapi. Apa dikira sahabat dan
keluarganya di sini tidak merindukannya?
Apalagi kami di
sini mendengar berita tidak sedap mengenai Marlan dan pekerjaannya, yang
katanya ia bekerja dalam gembong teroris yang memang akhir-akhir ini marak.
Memang Marlan kerjaannya menyambungkan kabel biru ke katoda bermuatan negatif
dan menyambungkan kabel merah ke katoda bermuatan positif. Kemudian
menghubungkannya dengn tabung logam yang berisi bubuk mesiu. Tak lupa juga
memasang timer dan pemantik dalam ke dua kutub tabung bubuk mesiu tersebut.
Kabel warna hitam menghubungkan timer dengan pemantik. Ketika timer berjalan
maka pemantik akan bergerak menuju kutub negatif hingga timer habis barulah
pemantik terbuka dan menghasilkan percikan api yang membuat kutub negatif
konslet dan menghantarkan listrik terbuka dalam tabung berisi bubuk mesiu. Dan
BUM! Terjadilah ledakan. Ledakan yang dihasilkan dapat merusak sebuah gedung
dengan tingkat kerusakan yang cukup parah.
Entahlah,
semoga marlan tidak demikian. Tidak akan rela mengorbankan dirinya dengan cara
meledakkan dirinya hanya untuk jaringan teroris yang tidak jelas apa maksudnya
terhadap pertahanan dan keamanan. Namun apa yang kuharapkan dan diharapkan anak
istrinya tidak sesuai dengan kenyataannya. Kami mendengar berita bahwa Marlan
menjadi salah satu tersangka bom bunuh diri di salah satu pusat perbelanjaan
Surabaya. Betapa hati ini sakit mendengar pemberitaan tersebut. Aku yang sangat
menghormatinya jadi kikuk ketika mengetahui ia tak lagi memiliki akal sehat.
Apa yang dipikirnkannya hingga sudi menjadi tersangka bom bunuh diri.
Dua minggu
kemudian jenazah Marlan dalam peti sampai di rumahnya, di kaki gunung Merapi.
Kami semua-pun menangisi Marlan. Anak-anaknya terisak-isak menatap peti jenazah
bapaknya. Sudah dipastikan bahwa ia hancur berkeping-keping, mayatnyapun pasti
sudah diidentifikasi dan diotopsi guna kepentingan penyelidikan dan penyidikan
pihak kepolisian. Aku secara pribadi kecewa dengan sikap Marlan. Apa maksudnya
dua tahun tidak pulang, sepuluh bulan tidak berkirim surat, pulang-pulang
dengan citra yang buruk dan mati mengenaskan.
Keluarganya di
kampung banyak dicemooh oleh tetangga, hingga tetangga desa-pun ikut mencemooh
keluarganya. Anak-anaknya menanggung malu karena bapaknya adalah teroris.
Istrinya pun jadi tak pernah keluar rumah, Laksmi jadi ngengkleng, banyak melamun, jadi sakit-sakitan. Anak-anaknya-pun
sudah malu untuk pergi ke sekolah. Hanya si bungsu, Teguh yang pergi ke
sekolah. Bukannya Teguh tidak malu terhadap cemoohan teman-temannya. Akan
tetapi ketika kutanya mengapa ia hanya mengatakan ia harus menjadi orang sukses
agar bisa cari duit yang halal gak seperti bapaknya.
Tiga bulan
kemudian keluarganya mendapat kiriman berupa kotak besar berwarna coklat. Nama
pengirimnya Sumarlan Sastro Dikromo. Hal tersebut mencengangkan keluarganya
beserta anak-anaknya. Akupun beranggapan dan berharap bahwa Marlan masih hidup.
Dalam kotak tersebut ada banyak surat yang tidak dikirim dan juga uang yang
banyak beserta surat-surat penting. Aku membaca surat-surat Marlan.
Ia bekerja di
tempat perakitan senjata api dan bom untuk kepentingan militer. Lama-kelamaan
ia tersadar betapa anehnya tempat ia bekerja jauh dari keramaian, tempat ia
bekerja tidak standar dengan tempat pembuatan atau perakitan senjata api dan
bom, tempatnya hanya menggunakan bekas gudang yang sudah lama tidak dipakai.
Jalan menuju tempat bekerjanya hanya setapak dan tertutup oleh semak dan
pepohonan yang tinggi dan rimbun. Anehnya lagi tempat tersebut tidak pernah
didatangi oleh instansi militer untuk mengambil pesanannya. Katanya ia bekerja
untuk kepentingan militer akan tetapi ia tak pernah mengetahui adanya transaksi
jual beli yang sah secara hukum.
Para pekerja
dilarang keluar area gudang selama ingin bekerja di tempat tersebut. Kalaupun
boleh keluar hanya sehari semalam setiap akhir bulan. Itupun pekerja mendapat
fasilitas antar jemput di pangkalan. Marlan pun tak bisa mengingat ke mana
jalan menuju gudang tua itu. Hingga suatu hari Marlan tanpa sengaja menguping
pembicaraan bos dengan bos besar, ia mendengar rencana pengeboman salah satu
pusat perbelanjaan di Surabaya. Apesnya ia kepergok kaki tangan bos saat
menguping pembicaraan dalam ruang yang memang tidak boleh dilalui pekerja
perakit.
Sejak itu
Marlan bekerja di bawah todongan pistol di kepalanya. Ia harus bekerja dengan
paksaan, ia sama sekali tak diijinkan keluar area bekerja walaupun sebulan
sekali. Itulah alasan mengapa Marlan selama sepuluh bulan tak pernah berkirim
surat, hanya mengirimkan uang hasil kerjanya. Akan tetapi Marlan tetap menulis
surat dan mengutarakan semuanya ke dalam surat-surat ini. surat yang ditulisnya
hanya dikumpulkan begitu saja. Uang, buku tabungan, dan sertifikat rumah yang
sempat ia beli di daerah Solo hanya begitu saja terkumpul di dalam kotak.
Surat
selanjutnya tidak ditulis oleh Marlan, akan tetapi ditulis oleh teman
sepekerjaannya, namanya Anton. Dalam surat anton ditulis bahwa Marlan mengalami
kematian sementara setelah menelan pil yang diberikan oleh bos tersebut.
Setelah sadar Marlan sama sekali tak mengenali Anton maupun rekan-rekan
sepekerjaannya. Anton hanya diberi amanat oleh Marlan untuk melanjutkan menulis
surat tentang Marlan untuk keluarganya di Magelang, kaki gunung Merapi
jika-jika Marlan menunjukkan sikap yang berbeda tak seperti biasanya.
Bulan Oktober
Marlan keluar dari gudang tua tersebut dengan tanpa ingatan sedikitpun pada
masa lalu. Ia menggunakan jaket tebal berwarna coklat yang di dalamnya
terkalung bom. Ia berjalan dengan tegak sekali tanpa sedikitpun rasa takut
maupun khawatir kalau sewaktu-waktu bom tersebut meledak.
Bulan November
tak ada kabar lagi tentang Marlan. Barulah pada akhir bulan Maret kotak surat
Marlan sampai di kampung halaman dan berisi sejuta kejutan baik dan kejutan
menyesakkan dada. Dengan surat-surat Marlan tersebutlah keluarganya dapat
sedikit menghela nafas. Setidaknya Marlan hanya korban jaringan teroris di
negeri ini. Marlan melakukannya bukan karena kemauannya, akan tetapi karena
pengaruh pil yang ditegaknya beberapa bulan lalu menjelang ajalnya.
Berbekal uang
dan sertifikat rumah sederhana di Solo mengubah nasib kami semua. Aku masih
bangga kepada Sumarlan Sastro Dikromo, ia tak pernah mengeluh kepadaku maupun
kepada Ibuku. Terserah orang lain mengenal Marlan sebagai teroris, yang kutahu
ia adalah bapak dan sahabat terhebat di dunia yang pernah aku miliki. Aku
bangga menjadi anak Sumarlan Sastro Dikromo, berkat bapakkulah aku mampu
menjadi orang yang berguna bagi bangsaku dan meneruskan cita-cita bapak untuk
lulus S1 bidang teknik elektro. Terima kasih, Bapak telah memberiku nama Teguh
Prakoso. Seteguh kepercayaanku kepada bapak.
Solo, bumi baru aku berpijak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar