Indah Kurniasari
Aku
sedikit mengingat sebelum aku tak dapat menggerakkan seluruh syaraf di tubuhku.
Sekitar lima menit yang lalu aku memacu mobilku dengan kecepatan 120 km/jam
saat melintasi jalan menikung ini. Itu saja yang aku ingat, selebihnya aku tak
bisa mengingat dengan jelas, sekitar lima menit yang lalu itu adalah teriakan
terakhirku.
Aku
masih bisa mendengar deru suara mesin mobilku yang tersendat-sendat, antara
mesin masih menggebu-gebu dan mesin yang kemasukan sesuatu. Aku mendengar kaca
pecah, mendengar ranting yang patah, mendengar suara yang menubruk-nubruk, dan mendengar
jantungku yang masih berdetak. Terasa sesuatu yang hangat mengalir dari kepala
ke pipiku, cairan yang hangat juga mengalir melalui hidungku. Cairan yang
sepertinya kental sedikit berbau amis.
Aku tidak bisa memfokuskan pendengaranku. Aku
harus mendengarkan apa? Semua suara terjadi bersamaan. Suara yang berasal dari
mobilku maupun suara yang timbul akibat aku mulai merasakan fantasi-fantasi
masa lalu. Suara decitan ban mobilku, aku masih mendengarnya hingga
terngiang-ngiang. Suara ambruknya pembatas jalan yang cukup keras hingga
membuat seluruh badanku terasa menghantam segala sesuatu.
Aku
rasa ini masih senja dan belum benar-benar terbenam.
Beberapa
saat kemudian aku mendengar suara sirine mendatangiku. Sepertinya banyak mobil
bersirine menghampiriku. Aku berharap yang datang itu adalah mobil ambulan,
bukan mobil dari pihak kepolisian. Di sela-sela suara mobil bersirine yang
nyaring aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku dengan nada yang
hendak menangis. Suaranya lirih dan sendu memanggil namaku,
Ardhanareswari.Melalui suara itu aku merasakan kasih sayangnya di tiap
panggilannya kepadaku. Aku ingin menjawabnya, apa daya aku tak mampu beranjak menggerakkan
tubuhku, hanya bisa mendengar tak bisa melihat. Entahlah saat itu aku memang
ingin memeluknya, seorang wanita hebat yang telah melahirkanku ke dunia ini.
Wanita
hebat itu, sepertinya aku mengingat suaranya. Beberapa jam yang lalu aku bertengkar
dengan wanita itu. Iya, itu Ibuku. Aku ingin menangis tatkala ibu memanggil
namaku. Ternyata wanita itu tak benar-benar marah denganku seperti yang telah
aku bayangkan beberapa jam yang lalu. Entah makhluk seperti apa diriku ini?
Ibu, wanita yang sabar, tidak benar-benar marah padaku. Aku ingin memeluknya
namun tubuhku tak mampu bergerak.
***
Aku
mendengar pintu mobilku dibuka secara paksa dengan benda tumpul. Bising sekali
suaranya, aku tak bisa berkonsentrasi, semua suara hadir dalam waktu yang amat
singkat dan relatif bersamaan. Rasanya ingin aku berteriak agar suara-suara
yang saling membaur itu lenyap dan biarkan aku berkonsentrasi mencari suara
ibuku. Aku merasakan sentuhan seseorang mengenai tubuhku dan berusaha menyentuh
urat nadiku, lalu orang itu berteriak seolah menang lotre saja girangnya, “Si korban
masih hidup!! Si korban masih hidup!! Siapkan ambulan! Kita akan evakuasi ke
Rumah Sakit terdekat.”
Aku
ingin tertawa bahagia karena sirine yang kudengar adalah ambulan. Tapi aku juga
ingin menangis kenapa di saat seperti ini aku tak bisa membuka mata. Setidaknya
jika aku membuka mata aku bisa menyaksikan segala kekonyolan yang telah aku
perbuat dan mentertawakannya dengan terbahak-bahak. Layak artis yang
dikerubungi banyak orang. Bodoh!
Rasanya
disaat seperti ini aku ingin membual pada kenyataan hidup yang telah aku alami.
Kenyataan hidup yang sengaja aku ubah demi kesenanganku sendiri. Kenyataan yang
seharusnya memang harus aku hadapi dengan lapang. Akan tetapi dengan lapang
pula aku berlari dari kenyataan. Tapi tak ada waktu lagi untuk membual
kenyataan bodoh yang telah aku alami.
Aku
merasakan sakit disekujur tubuhku, apa lagi bagian kepala. Tapi aku tak bisa
merintih kesakitan. Untuk membuka mata saja otakku tak mampu mengendalikan
syaraf motorik di area mata. Aku mendengar beberapa orang membacakan doa
untukku. Aku tidak tahu tepatnya doa apa itu, doa agar aku lekas sembuh atau
doa agar aku tak merasakan kesakitan seperti ini.
***
Sepertinya
hari sudah berganti malam, aku mengetahuinya karena sudah tidak ada suara
disekitarku. Yang ada aku mendengar suara mesin baja menderu di jalan yang
terdengar jauh sekali, yang aku dengar hanya suara jam yang berdetak seperti
jantungku yang masih berdetak. Tatkala seperti ini aku mengingat secuil kisah
masa lalu.
Aku
adalah anak semata wayang dalam sebuah keluarga kecil yang punya banyak aturan.
Mungkin aku bisa dibilang dewasa sebelum waktunya, aku mampu menerima
kebobrokan pernikahan orang tuaku dengan lapang dada walaupun aku harus menahan
sakit karena hidupku serba terbatas. Terbatas bukan dalam keadaan ekonomi, tapi
terbatas dalam menikmati kehidupanku yang seharusnya bahagia. Harusnya sihbahagia.
Aku
ini seakan-akan haus akan kasih sayang orang tua yang sedikitpun tidak dapat
aku merasakannya. Harusnya aku sadar dari awal, aturan yang orang tua
berlakukan untukku itu adalah bukti sayang mereka padaku. aturan itu untuk
kebaikanku, untuk masa depanku sendiri. Tapi aku tak dapat berfikir demikian
pada masa SMA, aku justru mencari cinta dari lawan jenis dengan mencicipi
segala kehidupan berbau seks. Aku masih ingat dengan siapa aku menyerahkan
keperawananku saat itu. Dengan lelaki yang aku pikir adalah orang yang
benar-benar mencintaiku. Akan tetapi tidak demikian pula dengan diriku. Aku tak
bisa merasakan adanya getaran cinta dengan lelaki itu walaupun aku sudah melakukan
hubungan seks dengan laki-laki itu.
Sejak
saat itu aku selalu mengambil jalan kehidupan yang hitam. Aku berpetualang
untuk melabuhkan cintaku ini dengan jalan melakukan hubungan intim layaknya
pasangan suami istri. Aku masih mengingat ada delapan orang laki-laki yang
telah menggerayangi tubuhku. Mereka mau menerimaku apa adanya dengan catatan
aku sudah tidak perawan. Tak dapat kubayangkan lagi saat tubuhku ini dibelai
mesra oleh banyak lelaki selama sepuluh tahun ini. Melakukan percumbuan tanpa
ada rasa cinta, dan sering membuat lawan cumbuku mengkomplain karena aku tidak
bisa lepas dalam melakukan hubungan badan.
Walaupun
kehidupan psikologiku sungguh diluar dugaan orang-orang, aku memang seorang
yang pandai dalam bidang akademik di sekolah, kampus, hingga di kantor. Masih
sebagai pegawai baru di kantor tempat aku bekerja, dalam enam bulan sudah
mendapatkan promosi dengan bayaran yang cukup tinggi bagai pegawai baru
sepertiku ini. orang-orang tak akan ada yang bisa menerawang kehidupanku. Orang
tuaku bahkan sekalipun. Sungguh gila kehidupanku. Mengapa aku tak bisa
bersyukur dengan anugerah Tuhan terhadap diriku ini? aku sudah diberi tubuh
yang cantik, sintal, dan juga dengan otak yang canggih. Mengapa aku tak
menyadari semua ini? mengapa aku harus menyadari pemberian Tuhan yang
sangat-sangat berharga ini saat aku terbaring dengan infus dan balutan perban
di mana-mana?
Saat
tubuh ini tak semolek dulu karena kecelakaan itu, bahkan tubuh ini tak lagi
dapat dijadikan pemuas lelaki berhidung belang. Yang kuingat hanya ada seorang
yang pernah membuatku berdebar kencang tanpa ia harus menelanjangiku di kamar
sewaan. Hanya dengan tatapan matanya yang menenangkan itu mampu melumpuhkan
segala syarafku. Dia bukan dari golongan priyayi, dan aku sudah mengenalnya
cukup lama. Dan dia tidak seperti kebanyakan lelaki hidung belang yang aku
temui.
Aku
ingat pertama kali pertemuanku dengan Hasan. Dunia malam yang penuh dengan
balapan liar di jalanan. Saat itulah aku mengenalnya. Akan tetapi aku baru
merasakan ada getaran baru-baru ini. Dia beda dari lelaki yang umumnya aku
temui. Dia sama sekali tak pernah mengajakku kencan atau sebangsanya.
Seolah-olah dia tak pernah menyukaiku sedikitpun. Dia tak pernah meladeni
segala usahaku untuk mendekatinya.
Aku
tak pernah ingin kehilangan lelaki sejenis Hasan ini. Berbagai cara telah aku
lakukan agar Hasan mengenalku lebih dalam dan mau meniduriku agar aku tahu
apakah Hasan benar-benar orang yang aku cintai hingga membuatku berdebar
kencang. Sungguh perilaku yang menjijikkan, menjatuhkan harga diri hanya demi
lelaki seperti Hasan. Kemolekan tubuhku tak mampu melumpuhkan logikanya. Ia
tetap lelaki yang tak sedkitpun tertarik padaku. “Aku memang sayang kepadamu,
tapi sayang ini hanya sebatas teman.” Kata-kata itu masih terngiang-ngiang
hingga saat ini.
Tiba-tiba
aku merasakan mata ini mengeluarkan air yang mengalir hingga ke pipi. Walau aku
masih terpejam tak dapat dibuka, tapi perasaan ini, otak ini masih bekerja
layaknya orang yang hidup normal. Baru kali ini aku menangis konyol, menangisi
segala kebodohan masa laluku hingga menjadikanku seperti ini, terbaring di atas
ranjang rumah sakit. Tak dapat melakukan apapun hanya bisa mengingat masa lalu
tanpa ada seorangpun yang dapat aku jadikan tempat tumpuan beban hidup ini. aku
tak punya teman, aku memang tak punya teman. Hidupku hanya kuhabiskan dengan
banyak laki-laki. Oh Tuhan!!
Aku
mengingat tamparan orang tuaku yang bertubi-tubi mendarat dipipiku. Pukulan
rotan tak luput dari punggungku.
“Siapa
yang menghamilimu, Nak? Katakan pada ibu!” sambil menamparku berulang kali.
Akupun tak menangis karena tamparan itu.
“Dasar
anak memalukan! Kau ini anak semata wayang! Harusnya bisa menjaga nama baik
keluarga!” kata-kata dari ayahku dengan pukulan rotan yang mengenai tubuhku.
“Apa
peduli kalian tentangku? Kalau hamil terus kalian tak sudi memiliki anak
sepertiku yasudah gugurkan saja kandungan ini! beres kan?” sahutku sambil
berdiri mendekap bekas pukulan orang tuaku.
Aku
ingat betul karena kecerobohanku menaruh alat pengecek kehamilan di atas meja
riasku. Aku masih ingat betapa senangnya aku akan kehamilan itu. Tak seperti
biasanya aku risau karena hamil oleh pacar-pacarku dan dengan obat aku
meluruhkan kandunganku. Saking senangnya aku hamil karena orang yang aku cintai
aku tak membuang tespack itu hingga orang tuaku menemukannya.
“Aku
tak sudi punya anak sepertimu! Sudah berapa duit ayah habiskan hanya untuk
menyekolahkanmu hingga kau bisa bekerja seperti ini? apa kau tak menghargai
kerja ayahmu ini? Ya Allaaaahh.. apa dosaku hingga kau biarkan anakku lalai dan
hamil di luar nikah?” ayahku menangis, baru pertama kalinya aku melihat ayahku
menangis. Entah mengapa aku juga meneteskan air mata.
Ayah
membereskan pakaianku dan melemparkannya ke luar rumah. Sambil menunjuk-nunjuk
ke arah jalan. Melemparkan kunci mobilku, yang aku beli dengan uangku sendiri
tepat mengenai kepalaku. Ibu-pun berlari ke pelataran sambil menangis
tersedu-sedu. Ia juga mengatakan hal yang sama seperti ayahku. Baru kali ini
aku melihat ibu dan ayahku memiliki pemikiran yang sama. Masihkah aku
berbahagia dengan kehamilanku ini? haruskah aku meminta pertanggungjawaban dari
orang yang aku kejar-kejar demi bercinta dengannya?
Kini
tinggal aku dan segala penyesalanku. Terbaring tak berdaya mengharap keajaiban
dari Tuhan yang masih menyayangiku atau sudah tak peduli lagi terhadapku.
Harusnya aku menjadi anak seperti apa yang diinginkan orang tuaku.
Ardhanareswari, yang berarti bidadari cantik. Harusnya perilakuku juga cantik.
Tak perlu mencari kebebasan dan cinta yang semu dengan jalan yang salah.
Padahal Tuhan sudah memberikan segala sesuatu yang aku perlukan untuk menjadi
Ardhanareswari.
Masih
sempatkah aku terbangun dan mengucap beribu maaf untuk orang tuaku? Maaf untuk
Tuhan yang telah aku lalaikan selama bertahun-tahun? Masih adakah kelanjutan
kisahku? Bagaimana kabar kandunganku? Bagaimana kabar orang tuaku? Bagaimana
kabarmu, Hasan? Aku sudah tak tahu lagi tentang diriku ini. masihkah ada
gerimis di pelataran rumahku?
***
SELESAI ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar