PERAN DAN KEDUDUKAN BAHASA
INDONESIA
SEBAGAI BAHASA PERSATUAN
Indah Kurniasari
Universitas Negeri Malang
E-mail: picapicopici@yahoo.com
ABSTRAK: Bahasa
adalah induk dari segala ilmu. Bahasa merupakan serangkaian bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh seperangkat alat ucap manusia yang bersifat arbitrer atau
sewenang-wenang juga merupakan hasil dari konvensi yang telah disetujui dan
diaplikasikan pada masyarakat. Bahasa nasional penting untuk menyatukan multikultural
di Indonesia agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Sejalan dengan hal
tersebut, penggunaan bahasa Indonesia harus sesuai dengan kaidah bahasa baku
untuk mencerminkan kewibawaan sebuah bahasa.
Kata kunci: bahasa
nasional, bahasa persatuan, bahasa baku
ABSTRACT: Language is
the mother of all sciences. Language is a series of sounds produced by the
human said set of tools that are arbitrary or abusive is also a result of the
conventions that have been approved and applied in society. The national
language is important to bring together multicultural Indonesia so as not to
cause social jealousy. Accordingly, the use of Indonesian must comply with the
rules of standard language to reflect the dignity of a language.
Key words: national
language, unity language, basic language
Disadari atau
tidak, kita sebagai manusia membutuhkan komunikasi antarmanusia untuk mencapai
keinginan batiniah yang tidak dapat dihasilkan oleh diri sendiri. Alat vital
komunikasi adalah bahasa. Bahasa bukan hanya suatu tatanan ujaran yang
digunakan oleh dua orang pembicara atau lebih, melainkan kita berpikir juga
memerlukan bahasa untuk menyampaikan hasil pemikiran. Seperti yang diungkapkan
oleh Whitney (dalam Aminuddin, 2011:19), language
is not only necesary for the formulation of thought but is part of thinking
process itself. We cannot get outside language to reach thought, not outside
thought to reach language.
Paparan Whitney di
atas menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat untuk pengatur pemikiran
melainkan bagian dari proses berfikir itu sendiri. Kita tidak bisa
mengesampingkan bahasa untuk mencapai pemikiran tetapi kita mengesampingkan
pemikiran untuk menjangkau bahasa.
Menurut KBBI, bahasa adalah (1) Ling sistem lambang bunyi berartikulasi yang
bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi
untuk melahirkan perasaan dan pikiran; (2) perkataan-perkataan yang dipakai
oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb); (3) percakapan (perkataan)
yang baik; sopan santun; tingkah laku yang baik.
Maksud dari uraian KBBI di atas, dalam kajian linguistik,
bahasa merupakan sebuah sistem lambang bunyi yang memiliki artikulasi yang
bersifat arbitrer atau sewenang-wenang dan konvensional yang dipakau sebagai
alat komunikasi untuk perasaan dan pikiran. Maksudnya adalah, bahasa bersifat
arbitrer, bahasa mengikat penggunanya untuk menggunakan bahasa tersebut dalam
berkomunikasi dan bahasa juga merupakan konvesional atau kesepakatan masyarakat
bahasa yang digunakan pada suatu daerah tersebut.
Lebih lanjut
mengenai masyarakat bahasa, Halliday (dalam Kushartanti, 1968: 35)
mendefinisikan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau
menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama. Dalam pendapat yang
dikemukakan oleh Halliday tersebut jelas bahwa bahasa bersifat konvensional,
disepakati oleh mereka yang menganggap dirinya memakai bahasa yang sama dan
bahasa tersebut diaplikasikan dalam komunikasi verbal.
KBBI juga
mendefinisikan bahasa adalah perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu
bangsa. Maksudnya, bahasa digunakan oleh suatu bangsa untuk berkomunikasi
antarindividu dalam satuan suku bangsa, negara, maupun daerah. Bahasa juga
merupakan sebuah perkataan yang baik, sopan santun, dan mencerminkan
kepribadian atau tingkah laku penuturnya.
Lain halnya dengan
Santoso (1990:1) dalam mengemukakan mengenai bahasa. Menurutnya, bahasa adalah
rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar. Dalam
kutipan tersebut lebih diketahui lagi bahwa pemakai bahasa menggunakan sebuah
bahasa untuk beromunikasi antarmanusia secara sadar. Maksudnya dalam keadaan
yang sadar, memiliki skemata dan tujuan yang ingin dicapai dalam komunikasi
tersebut.
Penjelasan dari
Santoso dapat dipertegas lagi dengan penjelasan Kridalaksana (dalam
Kushartanti, 2005:23) yang berpendapat bahwa di dalam suatu masyarakat bahasa,
orang dapat berkomunikasi dan saling memahami karena mereka memiliki gambaran
mental yang sama tentang dunia. Kridalaksana menekankan bahwasannya komunikasi
terjadi apabila kedua penutur memiliki gambaran mental atau memiliki persepsi
yang sama tentang dunia.
Misalnya saja
seseorang yang hanya mampu bertutur bahasa Indoneisa suatu hari pergi berlibur
ke Eropa. Ia ingin menanyakan lokasi hotel terdekat dari bandara, dari sini
dapat kita menangkap bahwa ia tidak mampu bertutur bahasa Eropa atau bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional dan ia tidak akan pernah mengetahui lokasi
hotel terdekat dari bandara kecuali ia bertemu seseorang yang juga berasal dari
Indonesia.
Secara yuridis, bahasa
Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari
berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) Kami
putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air
Indonesia, (2) Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia, (3) Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan
pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya
sebagai bahasa nasional.
Dalam hubungannya
sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang
budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan
hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan
kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik
yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan
daerah dan golongan.
Sejalan dengan
fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa
Indonesia juga telah berhasil menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan
perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan
bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus,
sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang
dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini
menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara
jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah
dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa
kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai
sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan
bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi
juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau
peristiwa formal lainnya. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang
dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal,
berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia.
Lebih dalam lagi
pada paparan selanjutnya akan dibahas mengenai histori terbentuknya bahasa
Indonesia, hubungan bahasa daerah dan bahasa asing dengan bahasa Indonesia,
pembakuan bahasa Indonesia, dan yang terakhir mengenai kedudukan bahasa
Indonesia.
HISTORI TERBENTUKNYA BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL
Pada
tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh
James Richardson Logan (1819-1869). James Richardson Logan adalah orang Skotlandia yang meraih sarjana
hukum dari Universitas Edinburgh. Pada
tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai
redaksi majalah JIAEA.
Dalam
JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the
Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl
menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk kepulauan Hindia atau kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name). Sebab nama Hindia tidaklah tepat dan
sering rancu dengan penyebutan nama
negara atau suku India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama yakni Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti
pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis : … the inhabitants
of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively
Indunesians or Malayunesians. Artinya adalah dalam populasi kepulauan Hindia atau Melayu seharusnya
mengganti nama menjadi Indunesia atau Malayunesia.
Earl sendiri menyatakan memilih nama
Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab
Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga
digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, menurut Earl, bahasa Melayu dipakai
di seluruh kepulauan ini (Melayu).
Dalam
JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis
artikel The Ethnology of the Indian
Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas
bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu
panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan
huruf “u” digantinya dengan huruf “o” agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah
istilah Indonesia.
Untuk
pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan : Mr.
Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of
Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is Merelya shorter synonym for the
IndianIslands or the Indian Archipelago. Yang berarti Tuan
Earl menyarankan pemakaian nama Indunesia tetapi ia lebih menyukai pemakaian
nama Malayunesia. Dan Logan lebih memilih nama untuk kepulauan dengan Indonesia
yang mengandung kependekan dari pulau Hindia atau kepulauan Hindia.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia”
agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama
bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka
bumi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia
dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar
di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada
tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien
oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat
hasil penelitiannya ketika mengembara ke Indonesia pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda,
sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pada kenyataannya pendapat demikian tidak
dibenarkan. Hal ini juga tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch – Indie tahun 1918. Padahal
Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan Logan.
Nasionalis tanah air yang pertama kali
menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar
Dewantara) ketika di buang ke
negeri Belanda tahun 1913. Pada masa
itu beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Pada tahun 1920-an, nama Indonesia yang
merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh
tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, sehingga nama Indonesia akhirnya memiliki
makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya
pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan
Logan itu.
Bung
Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara
Indonesia Merdeka” (de toekomstige vrije Indonesische staat). Melalui tulisannya tersebut mustahil
perjuangan kemerdekaan negara dengan
nama yang diberikan Belanda, yahki Hindia Belanda. Juga tidak menggunakan nama Hindia saja, sebab
nama tersebut dapat
menimbulkan kekeliruan dengan negara
India yang asli. Bagi kaum
nasionalis saat itu, nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan
dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap
orang Indonesia (Indonesier) akan
berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
Sementara
itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische
Studie Club pada tahun 1924. Pada
tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis
Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah
air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia. Akhirnya nama Indonesia
dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan
Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah
Pemuda.
Pada
bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad
(Dewan Rakyat, DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho
Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah
Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Nederlandsch-Indie (Hindia – Belanda). Tetapi Belanda menolaknya dengan mentah-mentah.
Sebagai akibat
kekalahan pihak Belanda saat Perang Dunia II, maka tanah air Indonesia jatuh ke tangan Jepang pada tanggal
8 Maret 1942. Dengan keadaan ini maka lenyaplah nama Hindia Belanda untuk selama-lamanya. Lalu
pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia melalui
perjuangan dan doa para korban penjajahan,.
Awal terbentuknya
bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu adalah melalui sebuah kongres pemuda
yang diadakan pada 28 Oktober 1928. Diselenggarakan oleh pemuda-pemuda
Indonesia di seluruh pelosok negeri. Kongres Pemuda yang menghasilkan bukti
outentik tebentuknya bangsa Indonesia pada Kongres Pemuda II. Saat itulah
kobaran jiwa-jiwa nasionalisme yang tertindas, terhimpit oleh penjajahan
kolonialisme belanda mulai menunjukkan jiwa persatuannya untuk mewujudkan
sebuah bangsa, bangsa yang memiliki kedaulatan, bangsa yang menginginkan
kemerdekaan, dan bangsa itu adalah bangsa Indonesia.
Gagasan
penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar
Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh
Indonesia. Atas inisiatif PPPI tersebut, kongres dilaksanakan di tiga gedung
yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama,
Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein
(sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito
berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para
pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan
hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa
memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan,
dan kemauan.
Rapat kedua,
Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah
pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro,
berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada
keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik
secara demokratis.
Pada rapat penutup,
di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan
pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan
Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan
nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri,
hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Rumusan Kongres
Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan
kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres sambil
berbisik kepada Soegondo: Ik heb een
eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi
yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo
membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada
yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh
Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Isi dari rumusan
yang diajukan adalah sebagi berikut:
1.
Pertama - Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami putra dan
putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
2.
Kedoewa - Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa
jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami putra dan
putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3.
Ketiga - Kami
poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa
Indonesia.
Kami putra dan
putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sebelum kongres
ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf
Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo
kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta
kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para
pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Para peserta
Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada
pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong
Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan
masih banyak lagi. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa
sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie
namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus
mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong
Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di
Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda
Keturunan Arab.
Melalui ikrar
sumpah pemuda tersebut lahir bangsa Indonesia. Dari butir ketiga sumpah pemuda
tersebut mengikrarkan bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian
secara de facto bahasa Indonesia
lahir pada Sumpah Pemuda tersebut. Walaupun tidak ada penjelasan mendetail mengenai
arti “bahasa Negara” pada saat itu, namun kedudukan bahasa Indonesia sebagai
Bahasa Negara adalah langkah lanjutan dari pengakuan dalam sumpah pemuda.
Bahasa Indonesia
dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945
karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan
bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres
Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa
Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang
dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa
perhubungan (lingua franca) bukan
hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai
dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu
ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M
(Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka
tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi).
Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu
Kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah
(Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan
prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pada zaman
Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku
pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan
antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa
antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para
pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Sejak awal
kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah mempunyai bahasa nasional, bahkan bahasa
negara. Tidak seperti negara tetangga seperti Singapura, Filipina, dan India.
Tidak mudah merumuskan bahasa negara, bahasa yang lahir dari dalam kebudayaan suatu
bangsa tersebut. Walaupun bahasa Indonesia banyak diadopsi dari bahasa Melayu,
namun bahasa Indonesia tidak sama dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia
merupakan salah satu varian dari bahasa Melayu.
Pemilihan bahasa
Melayu sebagai bahasa Indonesia pada masa itu bukan karena adanya kepentingan
suatu ras tertentu dalam kongres pemuda 28 Oktober 1928. Ketua Kongres Pemuda
tersebut berasal dari jawa, Soegondo Djojopuspito, Mohammad Yamin berasal dari
Batak. Bahkan pengguna bahasa Melayu pada masa itu masih tergolong sedikit,
kebanyakan mereka menggunakan bahasa daerah dan bahasa belanda untuk kaum
nasionalis. Pemerintah Belandalah yang berusaha menterjemahkan bahasa Melayu ke
dalam tulisan latin yang kemudian disebut sebagai ejaan Van Ophuijsen. Bahasa
rekayasa inilah yang mendasari pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka sebagai penerbitan
buku-buku juga sebagai badan sensor penerbitan buku pada masa itu.
Selanjutnya pada
masa penjajahan Jepang, pemerintah Jepang melarang keras penggunaan bahasa
Belanda. Mau tidak mau rakyat Indonesia menggunakan bahasa daerah dan bahasa
Melayu Indonesia sebagai media komunikasi. Bahasa Melayu pada masa itu banyak
digunakan untuk menerbitkan buku-buku selain dalam bahasa Daerah dan bahasa
Belanda. Pada masa itu bahasa Melayu juga telah digunakan oleh masyarakat
nusantara sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Hal ini juga tidak terlepas
dari rumpun bangsa yang mengikat Indonesia adalah rumpun bangsa melayu.
Kemudian setelah
kemerdekaan bahasa Indonesia juga telah mengalami perkembangan kosakata.
Kata-kata bahasa Melayu juga sudah mengalami pergeseran makna menjadi suatu
kesatuan bahasa yang santun. Maka pada tahun 1950 dibentuklah sebuah ejaan
penyempurnaan bahasa Indonesia atau yang kerap disebut sebagai Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
PENGARUH BAHASA ASING DAN BAHASA DAERAH DALAM BAHASA
INDONESIA
Bahasa
indonesia tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahasa nasional tanpa
pengaryh dari bahasa-bahasa diluar bahasa Melayu yang menjadi landasan dasar
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia juga mendapat kata-kata yang berasal dari
bahasa Asing sebagai dampak perdagangan maupun dampak kolonialisme di
Indonesia. Selain itu bahasa Indonesia juga memperoleh kosakata yang tidak ada
dalam bahasa Melayu dari bahasa daerah tertentu.
Kosakata dalam bahasa Melayu yang digunakan sebagai dasar
bahasa Indonesia tidak mempunyai kosakata yang banyak untuk mewakili
benda-benda atau perihal-perihal yang ada dalam masyarakat majemuk Indonesia.
Oleh karena itu, penyerapan kosakata dilakukan dengan mengambil kata-kata Asing
maupun kata-kata dari bahasa daerah. Penyerapan kata-kata tersebut dilakukan
dengan dua cara. Pertama penyerapan secara keseluruhan baik pengucapannya
maupun penulisannya. Cara yang kedua dengan menyesuaikannya dengan pengucapan
maupun penulisan sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan
bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, harus takluk dengan bahasa Indonesia.
Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada
timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa bisa disebut dengan
dialek, maka beraneka macam ragam bahasa tersebut masih tetap disebut bahasa
Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahasa Indonesia
tidak secara murni mencercap bahasa Melayu murni. Bahasa Indonesia selain
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, ternyata bahasa Indonesia
berkembang dengan adanya bahasa asing dan bahasa daerah yang lebih dahulu
terlahir dibandingkan bahasa Indonesia.
Bahasa asing banyak juga yang telah diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dari awal pertumbuhannya sampai sekarang
telah banyak menyerap unsur-unsur asing terutama dalam hal kosakata. Kata
serapan adalah kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah diintegrasikan
kedalam suatu bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum. Bahasa Indonesia
menyerap banyak kata dari bahasa-bahasa lain, terutama dari negara yang pernah
berhubungan langsung dengan Indonesia baik melalui perdagangan (Sansekerta,
Arab, dan Tionghoa), melalui penjajahan (Portugis, Jepang, Belanda), maupun
dari perkembangan ilmu pengetahuan (Inggris). Berikut data jumlah kata asing
yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia:
No.
|
Asal Bahasa
|
Jumlah Kata
yang Diserap
|
1.
|
Arab
|
1.495 kata
|
2.
|
Belanda
|
3.280 kata
|
3.
|
Tionghoa
|
290 kata
|
4.
|
Hindi
|
7 kata
|
5.
|
Inggris
|
1.610 kata
|
6.
|
Parsi
|
63 kata
|
7.
|
Portugis
|
131 kata
|
8.
|
Sanskerta-Jawa Kuna
|
677 kata
|
9.
|
Tamil
|
83 kata
|
Sumber: http://www.dwiajisapto.blogspot.com.
Seperti yang kita ketahui dari
pelajaran sejarah, bahasa Sansekerta telah dipakai di Nusantara sejak masa
lampau. Bahasa Sansekerta tercatat paling awal masuk ke Nusantara (Indonesia).
Bahasa ini dipakai mula-mula di salah satu peradaban tertua, peradaban Sungai
Indus dan menyebar ke hampir seluruh dunia besamaan meyebarnya kepercayaan
Hindu. Salah satu tempat menyebarnya kepecayaan Hindu adalah daerah Asia
Tenggara. Kerajaan Sriwijaya, dari namanya pun sudah memakai bahasa Sansekerta.
Sampai di masa kerajaan-kerajaan Islam, bahasa Sansekerta masih dipakai,
contohnya adalah nama-nama raja di Jawa. Beberapa kata serapan dari bahasa
Sansekerta antara lain: bencana (vāñcana), anugerah (anugraha), busana
(bhūṣaṇa), sahaja (sahaja), istana (āsthāna), dan istri (strī).
Selanjutnya pengaruh bahasa Cina terhadap bahasa
Indonesia berawal dari hubungan dagang yang terjadi sejak abad ke-7. Para
saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Timur, bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya muncul
dan kukuh, Cina membuka hubungan diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha
perdagangan dan pelayarannya. Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke Kerajaan
Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan ribu perantau meninggalkan
tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian Nusantara (Kepulauan Antara,
sebutan bagi Indonesia).
Yang disebut dengan bahasa Tionghoa adalah bahasa di negara
Cina. Bahasa di negara Cina tidak hanya satu bahasa, melainkan banyak bahasa
yang ada di negara Cina. Empat diantara bahasa-bahasa itu yang di kenal di
Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan Mandarin. Kontak yang begitu lama
dengan penutur bahasa Tionghoa ini mengakibatkan perolehan kata serapan yang
banyak pula dari bahasa Tionghoa, namun penggunaannya tidak digunakan sebagai
perantara keagamaan, keilmuan, dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak
terpelihara keasliannya dan sangat mungkin bahasa Tionghoa berbaur dengan
bahasa di Indonesia. Contohnya: anglo, bakso, cat, giwang, kue atau kuih,
sampan, dan tahu.
Bahasa Arab dibawa ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh
saudagar dari Persia, India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam. Kosakata
bahasa Arab yang merupakan bahasa pengungkapan agama Islam mulai berpengaruh ke
dalam bahasa Melayu terutama sejak abad ke-12 saat banyak raja memeluk agama
Islam. Kata-kata serapan dari bahasa Arab misalnya abad, bandar, daftar, edar,
kursi, gairah, hadiah, hakim, ibarat, jilid, kudus, mimbar, sehat, taat, wajah,
dan koran. Karena banyak di antara pedagang itu adalah penutur bahasa Parsi
maka tidak sedikit kosakatanya juga pada akhirnya diserap, seperti acar, baju,
domba, kenduri, piala, saudagar, dan topan.
Masa penjajahan di Indonesia pertama kali dimulai oleh
masuknya bangsa Portugis yang ingin mencari rempah-rempah yang pada saat itu
nilainya sangat tinggi. Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa
Melayu sejak bangsa Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun
sebelumnya ia menduduki Goa. Portugis disingkirkan Belanda yang datang kemudian
dan Portugis harus menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski demikian, pada
abad ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa penghubung antaretnis di
samping bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis
seperti algojo, bangku, dadu, gardu, meja, picu, renda, dan tenda.
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika
ia mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau
Jawa dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda
menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat
menggeser kedudukan bahasa Portugis, karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih
sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka
diri bagi orang-orang yang ingin memepelajari kebudayaan Belanda termasuk
bahasanya. Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh
negeri dalam kurun waktu yang lama. Belanda juga merupakan sumber utama dalam
menimba ilmu bagi kaum pergerakan nasional. Oleh karena itu, komunikasi gagasan
kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan banyak mengacu pada bahasa
Belanda. Beberapa kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti abodemen,
bangrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor.
Pendududkan Jepang di Indonesia yang selama tiga setengah
tahun tidak meninggalkan warisan yang dapat bertahan melawati beberapa
angkatan. Kata-kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah
hasil hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas kekuatan ekonomi
dan teknologinya. Kata serapan dari bahasa Jepang antara lain: ebi, judo,
karaoke, kimono, dan samurai.
Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia yaitu
ketika Raffles menginvasi Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1811. Kata
serapan dari bahasa Inggris ke dalam kosa kata Indonesia umumnya terjadi pada
zaman kemerdekaan Indonesia, namun ada juga kata-kata Inggris yang sudah
dikenal, diserap, dan disesuaikan pelafalannya ke dalam bahasa Melayu sejak
zaman Belanda yang pada saat Inggris berkoloni di Indonesia antara masa
kolonialisme Belanda. Kata-kata itu seperti badminton, kiper, gol, dan bridge.
Banyaknya kosakata bahasa Inggris yang diserap kedalam bahasa Indonesia karena
bahasa Inggris telah diakui sebagai bahasa internasional atau bahasa dunia.
Dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknolgi yang sebagian besar
informasinya ditulis dalam bahasa Inggris, beberapa istilah-istilah penting
akan tertulis dalam bahasa Inggris juga.
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan
dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan
berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai
contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan
ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan
orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu
yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan
bapaknya yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di
lingkungannya kata “mengapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai
bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan
“mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak
untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman
budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan
merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan
mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya
bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing
daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah
yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka.
Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk
berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab.
Beberapa kata dari bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa Indonesia yang
baku, antara lain kata nyeri (Sunda) dan kiat (Minangkabau).
Bahasa daerah
merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh
Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati
dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai
dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa
daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa
Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Demikian juga
sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan
timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam
perkembangannya.
Selain itu, bahasa
Daerah ternyata sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar
di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan atau
pelajaran lain. Di daerah tertentu , bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa
pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga
(kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia, kecuali
daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Bahasa Daerah juga sebagai
sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Seringkali istilah yang
ada di dalam bahasa daerah belum muncul di bahasa indonesia sehingga bahasa
indonesia memasukkannya istilah tersebut, contohnya “gethuk“ yaitu makanan yang
dibuat dari ubi dan sejenisnya kemudian direbus, lalu dicampur gula dan kelapa
(ditumbuk bersamaan). Karena di bahasa indonesia istilah tersebut belum ada,
maka istilah “gethuk“ juga di resmikan di bahasa indonesia sebagai istilah dari
“makanan yang dibuat dari ubi dan sejenisnya kemudian direbus, lalu dicampur
gula dan kelapa (ditumbuk bersamaan)“.
Bahasa Daerah merupakan pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan
pemerintah pada tingkat daerah. Dalam tatanan pemerintah pada tingkat daerah,
bahasa daerah menjadi penting dalam komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat
yang kebanyakan masih menggunakan bahasa ibu sehingga dari pemerintah harus
menguasai bahasa daerah tersebut yang kemudian bisa dijadikan pelengkap di
dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah tersebut.
PEMBAKUAN BAHASA INDONESIA
Sebagai bahasa yang
hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan
perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia
dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong
berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa
bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang
berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial
menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah
ragam sosial.
Bermula dari latar
belakang terbentuknya bahasa Indonesia yang banyak menyerap dari bahasa asing
maupun daerah, maka perlu dibakukan atau distandarkan. Pembakuan bahasa
berfungsi untuk komunikasi formal dan resmi dengan bahasa yang santun, baik,
dan benar serta berwibawa ketika menggunakan bahasa nasional.
Pembakuan atau
penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan
paling baik dalam pemakaian bahasa. Masalah kewajaran terkait dengan berbagai
aspek. Dalam berbahasa, misalnya, aspek ini meliputi situasi, tempat, mitra
bicara, alat, status penuturnya, waktu, dan lain-lain. Aspek-aspek tersebut
disebut juga dengan istilah konteks.
Konteks itulah yang
menuntut adanya variasi bahasa. Dalam pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan
dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Berdasarkan
fungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan
untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya. Setiap acuan cenderung dipergunakan
sesuai konteks yang mempengaruhinya.
Karena adanya berbagai
acuan itu, maka masalah utama standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang
harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi
pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang akan
ditetapkan sebagai acuan standar.
Ada beberapa hal
yang perlu dipedomani untuk penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu
meliputi hal sebagai berikut.
1.
Dasar
keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun
lisan
2.
Dasar
keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah
3.
Dasar
kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Masalah pembakuan
bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa dan perencanaan
bahasa. Melalui kebijaksanaan bahasa dipilih dan ditentukan salah satu dari
sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi
kenegaraan. Sedangkan melalui perencanaan bahasa dipilih dan ditentukan sebuah
ragam bahasa dari ragam-ragam yang ada untuk dijadikan ragam baku atau ragam
standar bahasa tersebut. Proses pemilihan atau penyeleksian dan penetapan salah
satu ragam bahasa resmi kenegaraan atau kedaerahan, serta usaha-usaha pembinaan
dan pengembangannya yang dilakukan secara kontinu disebut pembakuan bahasa atau
penstandaran bahasa.
Bahasa baku atau
bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang
digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan
resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta
lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru dalam Ramlan, 2010). Bahasa baku tersebut
merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu
merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga
masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka
rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.
Adapun
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam usaha pembakuan bahasa adalah:
1.
Kodifikasi
Himpunan dari
hasil pemilihan mana yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya,itulah
kodifikasi. Jadi, yang mula-mula dilakukan ialah inventarisasi bahan dari
sejumlah bidangyang diperlukan. Kemudian diadakan pemilihan pada kelompok tiap
bidang. Selanjutnya, hasil pemilihan itu dihimpun menjadi satu kesatuan. Dalam
pengkodifikasian bahasa Indonesia akan menyangkut dua aspek yang penting, yaitu:
a.
Bahasa
menurut situasi pemakai dan pemakaiannya.
b.
Bahasa
menurut strukturnya sebagai suatu sistem komunikasi.
Kodifikasi yang pertama akan menghasilkan sejumlah ragam
bahasa dan gaya bahasa. Perbedaan ragam gaya tampak dalam pemakaian bahasa
lisan dan bahasa tulisan, masing-masing akan mengembangkan variasi menurut
pemakaiannya di dalam pergaulan keluarga dan sahabat. Kodifikasi yang kedua
menghasilkan tata bahasa dan kosa kata yang baku. Pada umumnya yang layak
dianggap baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat
yang paling luas pengaruhnya dan lebih besar kewibawaannya.
2.
Elaborasi
Elaborasi ini
merupakan penyebarluasan kodifikasi. Penyebarluasan ini dilakukan dengan jalan
menerapkan hasil kodifikasi ke dalam segi kehidupan bangsa Indonesia.
3.
Implementasi
Setelah usaha
kodifikasi dan elaborasi, maka harus diikuti oleh usaha implementasi yang merupakan
proses akhir dari usaha pembakuan bahasa. Terwujudnya implementasi dengan baik berarti
usaha pembakuan bahasa telah tercapai. Hal ini bergantung pada masyarakat,
apakah masyarakat menerima hasil kodifikasi dan usaha elaborasi tadi dengan
sikap positif atau tidak. Jika usaha kodifikasi dan elaborasi dikerjakan oleh
pusat pembinaan dan pengembangan bahasa atau lembaga-lembaga bahasa maka
implementasi dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat.
Untuk menentukan
apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang
dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan,
kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman.
1.
Kemantapan
dan Kedinamisan
Mantap artinya
sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya jika dibubuhi
imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata
tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba. Kata
rajin juga demikian. Kalau kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji
bukan pengkaji untuk orang yang melakukan kajian (research).
Dinamis
artinya tidak statis atau tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang
kaku, apalagi mati. Bahasa baku menghendaki bahasa yang luwes, fleksibel, dan
dapat mewakili perihal yang diluar bahasa yang ingin disampaikan oleh penutur.
2.
Kecendikian
atau Kerasionalan
Bahas baku
bersifat cendikia karena bahasa baku dipakai di tempat-tempat resmi dan oleh
orang terpelajar. Selain itu, bahasa baku dapat menjembatani antarpengguna, sehingga
tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan. Dapat juga dikatakan
bahasa baku memberikan gambaran apa yang ada di dalam otak pembicara atau
penulis, serta memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau
pembaca.
3.
penyeragaman
Pada hakikatnya
pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan
bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai
contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjurkan mengguanakan istilah
pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada orang
yang menggunakan kata steward atau stewardes dan penyerapan itu seragam, maka
kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi, kenyataannya hingga
saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks keindonesiaan.
Selain berfungsi
sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai
fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer dalam Ramlan, 2010) menjelaskan bahwa
bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah,
fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan.
Maksud dari
penjelasan Gravin dan Mathint bahasa baku bersifat sosial pilitik adalah bahasa
disususn sedemikian rupa untuk menyatukan masyarakat majemuk yang ada dalam
suatu negara, fungsi pemisah klasifikasi sosial yang mencolok seperti pada
masayrakat budaya hindu maupun masyarakat keraton. Bahasa baku dapat
mencerminkan penuturnya, penutur yang baik dalam berbahasa Indonesia yang baku,
maka orang tersebut juga mencerminkan harga dirinya yang santun. Bahasa baku
juga berfungsi menunjuk kerangka acuan yang berada di luar kebahasaan.
Alwi, dkk. (dalam
Ramlan, 2010) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di
antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat
objektif. Fungsi-fungsi tersebut adalah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi
pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai
kerangka acuan.
Kridalaksana (dalam
Ramlan: 2010) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku,
yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum,
dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang
menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan
komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan
dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, atau
dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan
atasan, dengan guru, dan dengan orang yang baru dikenal.
Telah dijelaskan di
atas bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok
untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk
pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan
dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (dalam Ramlan: 2010) mencatat
empat fungsi pokok, yakni fungsi pemersatu, fungsi penanda kepribadian, fungsi
penanda wibawa, fungsi sebagai kerangka acuan.
Pada umumnya fungsi
pokok bahasa baku yang diungkapkan para pakar di atas memiliki kesamaan. Bahasa
pokok berfungsi sebagai pemersatu, pencermin kepribadian, dan sebagai penanda
rujukan di luar kebahasaan.
Penggunaan bahasa
baku umumnya digunakan untuk hal-hal surat menyurat antarlembaga, laporan
keuangan, karangan ilmiah, lamaran pekerjaan, surat keputusan, perundangan,
nota dinas, rapat dinas, pidato resmi, diskusi, penyampaian pendidikan, dan
sebagainya yang berurusan dengan lembaga formal.
Andaikata kita
sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku, maka
pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi,
sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi, berdasarkan Ejaan Yang
Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang
berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan
lafal baku apabila ia tidak menampakkan ciri-ciri bahasa daerah. Dengan
pelafalan baku itu, seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia
berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku, ia
tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya.
Dalam bidang ejaan,
pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang panjang. Dimulai
dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan
ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947, diteruskan dengan Ejaan Yang
Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan
bahasa Melayu Brunei Darussalam.
Dalam bidang tata
bahasa, pembakuan telah dilakukan, yakni dengan diterbitkannya buku Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia. Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan
peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari
ejaannya, lafalnya, bentuknya, dan sumber pengambilannya.
Dalam bidang
peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi
sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari kosa kata bahasa Indonesia
(baik yang lazim maupun tidak), kosakata bahasa serumpun, dan kosakata bahasa
asing. Penjelasan lebih lanjut tentang sumber istilah itu terlihat pada uraian
berikut ini.
1.
Kosakata
Bahasa Indonesia
Kata bahasa
Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum, baik yang lazim
maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus memenuhi salah satu syarat (boleh
lebih) berikut:
a.
Kata
dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang
dimaksudkan
b.
Kata
lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama
c.
Kata
yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik).
Disamping itu,
istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru atau makna khusus dengan
jalan menyempitkan atau meluaskan makna asalnya.
2.
Kosakata
Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa
Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat mengungkapkan konsep,
proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka istilah dicari dalam bahasa
serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim yang memenuhi syarat pada
bagian satu di atas.
3.
Kosakata
Bahasa Asing
Jika baik dalam
bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang
tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah
baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus
menerjemahkan istilah asing itu.
Di era globalisasi
penutur bahasa Indonesia mengalami kesulitan penggunaan bahasa baku untuk
komunikasi resmi. Hal ini karena banyaknya jargon-jargon atau bahasa baru yang
populer di kalangan masyarakat hingga menggeser kebakuan bahasa Indonesia.
Walaupun bahasa Indonesia bukan suatu sistem bahasa yang kaku seperti
pembahasaan pada negara Jepang, bukan berarti juga bahasa Indonesia dengan
mudah dikolaborasikan dengan bahasa yang bukan baku. Pencampuran bahasa akan
berdampak pada penurunan esensi bahasa nasional di tingkat Internasional. Akan
semakin sulit suatu bahasa tersebut dipelajari oleh bangsa lain.
Bukan suatu upaya
yang mudah untuk membakukan bahasa Indonesia yang dipandang sebagai bahasa
nasional. Seharusnya sebagai pejuang globalisasi haruslah menggunakan bahasa
Indonesia dengan baku, benar, baik, dan berwibawa agar kelak impian bangsa
Indonesia mewujudkan bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia terlaksana secepat
mungkin.
KEDUDUKAN
BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL
Di bumi ini semua manusia mempunyai bahasa. Pemilikan
bahasa konseptual ini membedakan manusia dari yang lainnya. Dalam kelangsungan
kehidupan manusia, maka fungsi bahasa yang paling mendasar adalah menjelmakan
pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan. Kemudian penjelmaan tersebut
menjadi landasan untuk suatu perbuatan. Perbuatan ini menyebabkan terjadinya
hasil, dan akhirnya hasil ini dinilai. Bila pemikiran konseptual tidak
dinyatakan dalam bahasa, maka orang lain tidak akan mengetahui pemikiran
tersebut. Ada kemungkinan juga sebuah pemikiran langsung dijelmakan dalam
sebuah perbuatan, yang kemudian ditirukan oleh orang lain. Tetapi langkah
demikian serupa dengan perilaku seekor monyet sekitar 30 juta tahun yang lalu.
Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan Aminuddin
(2011:10) yang menyatakan bahwa bahasa adalah alat atau media untuk berpikir
dan mengeluarkan hasil pemikirannya juga melalui bahasa yang komunikatif dan
dapat dipahami antar masyarakat bahasa.
Maksud dari pernyataan di atas adalah bahasa merupakan
inti dari berpikir dan bisa dikatakan sebagai induk sebuah ilmu. Tanpa ada
bahasa mereka para ilmuan mungkin tidak menjadi seorang ilmuan yang terkenal
karena mereka tidak mampu menyampaikan hasil pemikirannya dengan menggunakan
bahasa. Bahasa merupakan sarana komunikasi baik komunikasi antarindividu maupun
komunikasi diri sendiri yang disebut dengan komunikasi batiniah.
Sama halnya dengan pernyataan Minto (2007:5) bahwa berbahasa
berarti berkomunikasi dengan menggunakan media bahasa. Bahasa harus dipahami
oleh semua pihak dalam suatu komunitas. Komunikasi merupakan penggerak
kehidupan. Jadi, tidak mungkin dapat dihilangkan karena manusia merupakan
makhluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi atau hubungan dengan manusia
lain.
Paparan dari Minto di atas menerangkan kedudukan manusia
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam suatu komunitas untuk
kelangsungan hidup manusia. Komunikasi antarmanusia tidak dapat dienyahkan dari
peradaban manapun dan selamanya tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu,
komunikasi atau interaksi merupakan hal yang vital atau penting.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa di dunia sangat
beragam. Keberagaman bahasa dunia ini mencerminkan pentingnya sebuah bahasa
yang digunakan dalam masyarakat tertentu untuk berkomunikasi. Keberagaman
bahasa di dunia saat ini sudah ada solusinya untuk bisa berkomunikasi secara
global yakni melalui bahasa Inggris. Tidak jauh berbeda dalam satuan negara,
khususnya Indonesia yang juga memiliki banyak suku bangsa, budaya, serta bahasa
dapat disatukan dengan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di kawasan
republik Indonesia. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada
ikrar ketiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Selanjtnya butir ketiga dari Sumpah Pemuda tersebut
diperkuat dengan Undang-Undang Dasar 1945 bab XV pasal 36 yang menyatakan bahwa
“Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dasar landasan pentingnya bahasa Indonesia sudah
dipertegas dalam UUD 1945. Maka penting tidaknya suatu bahasa dapat juga
didasari pada: (1) jumlah penuturnya; (2) luas penyebarannya; (3) peranannya
sebagai sarana ilmu, kasusastraan, dan ungkapan budaya lain yang dianggap
bernilai. Menurut patokan-patokan yang diajukan tersebut, bahasa nasional
mengatasi bahasa daerah yang lain.
Bahasa nasional berkedudukan di atas bahasa daerah yang
digunakan dalam negara tersebut secara resmi dan formal. Bahasa nasional
memiliki jumlah penutur yang banyak karena sifat bahasa pada dasarnya
arbitrer dan konvensional. Selain itu
penyebaran bahasa nasional lebih luas meliputi seluruh nusantara. Bahasa
nasional juga berperan sebagai madia penyalur ilmu, kesusastraan, dan media
pengungkapan budaya yang lainnya yang dianggap bernilai, berharga.
Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dirasa
sudah arif dan bijaksana. Karena jika salah satu bahasa daerah diangkat menjadi
bahasa nasional maka akan timbul kecemburuan sosial pada pemilik kebudayaan
yang lain, mereka merasa bahwa mereka dipandang sebelah mata. Maka hal yang paling
buruk akan ada disintegrasi nasional, banyak gerakan separatisme, dan tidak
akan menjadi bahasa pemersatu. Pemilihan bahasa Indonesia menghindarkan dari
kecemburuan sosial antarsuku, menghindarkan disintegrasi nasional, serta
mencegah gerakan separatisme.
Bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa negara,
sebagai bahasa negara berarti bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus
digunakan sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia dengan baku, baik, dan benar.
Dari pentingnya kedudukan bahasa nasional, posisi bahasa indonesia perlu
mendapatkan perhatian khusus terutama bagi pembelajaran khususnya bahasa
Indonesia sehingga bahasa Indonesia tidak akan terpinggirkan oleh bahasa asing
karena bahasa indonesia adalah bahasa persatuan.
Dalam kaitannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai
suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa daerah masing-masing,
bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu
tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial
budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Pada dasarnya
bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi antarsuku, antardaerah, yang
dimiliki Indonesia sebagai negara yang multikultural.
Selain sebagai alat pemersatu antarsuku, antarbudaya, bahasa
Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa kedinasan juga sebagai pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan. Buku pelajaran pada umumnya ditulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan karya-karya ilmiah di perguruan tinggi pun
ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu bahasa Indonesia juga memiliki fungsi sebagai
bahasa Nasional dan bahasa Negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
Nasional adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai Identitas
Nasional
Kedudukan
pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan
dengan digunakan nya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda.
2. Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan
Bangsa
Kedudukan kedua
dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih
digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara
lain yang terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara
persemakmurannya. Contohnya saja India, Malaysia, dan lainnya yang harus bisa
menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya.
3.
Bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi
Kedudukan
ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan
dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi.
Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dan
sebagainya. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan
budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga
berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai
bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras,
adat istiadat dan Budaya.
4.
Bahasa
Indonesia sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat
istiadat dan Budaya
Sementara itu, kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa Negara akan dijelaskan berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
kenegaraan
Kedudukan
pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan
digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945.
Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan
kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
2. Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar
dalam dunia pendidikan
Kedudukan kedua
dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan
pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari
taman kanak-kanak, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus
berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku
yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Cara ini akan sangat membantu
dalam meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dan teknolologi (iptek)
3. Bahasa Indonesia sebagai penghubung
pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
serta pemerintah
Kedudukan
ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan
digunakannya Bahasa Indonesia dalam hubungan antar badan pemerintah dan
penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya
diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa.
Tujuan agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima
oleh masyarakat.
4. Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan
kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Kedudukan
keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan
penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran,
buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lainnya. Karena
sangatlah tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan tentang suatu
kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu sendiri, dan
menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti.
Hasil dari perumusan “Seminar Politik Bahasa Nasional”
yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain
menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas
nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar
belakang sosial, budaya dan bahasanya, (4) alat perhubungan antarbudaya
antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan
nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang
dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus
menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan
kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah
diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara
dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia
merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan
dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai
bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus
menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya.
Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang
sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat
Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya
dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang
sama.
Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan
serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi
‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa
dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial
budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing.
Hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayu
lah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan. Dengan
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, kita dapat dengan mudah berkomunikasi
dengan masyarakat di seluruh pelosok nusantara yang masing-masing daerah
memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah
salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa
Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam
perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja
di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal
abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” diawali sejak dicanangkannya Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “imperialisme bahasa” apabila
nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung
Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang
terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan
dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Bahasa Indonesia yang dipahami dan dituturkan oleh lebih
dari 90% warga Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya.
Sebagian besar warga Indonesia hanya menggunakan salah satu dari 748 bahasa
yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali
menggunakan versi sehari-hari atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu
lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan
sangat luas di perguruan-perguruan, media massa, sastra, perangkat lunak,
surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga masih bisa
dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Menurut Felicia (dalam Rendi, 2001), dalam berkomunikasi
sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan yaitu bahasa, baik
bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, khususnya
bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari
bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang
Indonesia kurang terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak
disadari.
Komunikasi lisan yang tidak standar dan sangat praktis
menyebabkan kita tidak teliti dalam berbahasa. Kesulitan pun terjadi pada saat
akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada
saat dituntut untuk berbahasa bagi kepentingan yang lebih terarah dan bermaksud
tertentu, kita cenderung kaku, terbata-bata, mencampurkan bahasa standar dengan
bahasa yang tidak standar, atau mencampurkan bahasa standar dengan istilah
asing. Padahal, bahasa bersifat luwes dan manipulatif. Kita dapat memanipulasi
bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Seperti orang-orang berpolitik
melalui bahasanya.
Arus globalisasi berdampak pada perkembangan dan
pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan
budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam era globalisasi, bangsa Indonesia
harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas. Konsep-konsep dan istilah
baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) telah memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua
produk budaya akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan IPTEK itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus
berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan
perkembangan iptek itu (Sunaryo dalam Rendi, 2011).
Menurut Sunaryo (dalam Rendi, 2011), tanpa adanya bahasa
(termasuk bahasa Indonesia) IPTEK tidak dapat tumbuh dan berkembang. Bahasa
Indonesia di dalam struktur budaya memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda
sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir
dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan IPTEK. Tanpa peran bahasa
serupa itu, IPTEK tidak akan dapat berkembang. Implikasinya menyebabkan bahasa
sebagai prasarana berfikir modern. Jika cermat dalam menggunakan bahasa, maka
kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya
nalar.
Hasil pendayagunaan daya nalar itu bergantung pada ragam
bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar juga. Kenyataan
bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas dalam sarana komunikasi di dalam
masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes dan mampu menjalankan
fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
jadi bahasa
indonesia merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan
bermasyarakat, bahasa indonesia lah yang menyatukan bangsa indonesia yang
beragama suku dan budaya.
Globalisasi secara tidak langsung memberikan efek negatif
dan efek positif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Dari segi positifnya,
bahasa indonesia sedikitnya sudah mampu bersaing dengan bahasa yang ada di
ASEAN. Menurut sebuah media elektronik online (www.sloetan.com, 2011)
Indonesia terus memperjuangkan bahasa Indonesia menjadi
bahasa resmi di kawasan ASEAN. Hal itu terungkap dari hasil Sidang ASEAN Inter
Parliamentary Assembly (AIPA) ke-33 di Kamboja.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi
Santoso sebagai salah satu delegasi Indonesia pada acara itu, di Jakarta, Jumat
(23/9).
“Peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN,
terbuka lebar. Karena secara mayoritas penduduk di kawasan ASEAN menggunakan
bahasa Indonesia,” ujarnya.
Menurut dia, meski sebagian besar negara anggota ASEAN
menyambut positif usulan tersebut, namun masih terdapat beberapa negara yang
belum menyetujuinya. Diantaranya adalah Filipina dan Singapura. “Kita berharap,
dalam waktu dekat kedua negara itu bisa menyetujui gagasan bahasa Indonesia
menjadi bahasa resmi ASEAN,” ungkap dia.
Priyo berharap,
dalam pertemuan parlemen ASEAN yang akan diselenggarakan pada Oktober 2012
mendatang, seluruh negara anggota ASEAN dapat menyetujui usulan tersebut secara
aklamasi. (SL-10)
Bahasa Indonesia tidak pernah mengalami keterpurukan di
mata Internasional. Terbukti dalam penetapan bahasa resmi ASEAN indonesia
mendapatkan peluang yang jitu untuk mewujudkan cita-cita bersama menjadikan
bangsa Indonesia dikenal di tingkat Internasional. Keinginan untuk menjadikan
bahasa nasional kita bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia bukanlah mimpi
kosong belaka, setiaknya bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa resmi di kawasan
regional Asia Tenggara atau ASEAN. Dalam pertemuan-pertemuan resmi tingkat
ASEAN, bahasa Inggris menjadi satu-satunya bahasa resmi. Memang agak aneh
bahasa yang asalanya ribuan kilo mil dari ASEAN ini menjadi satu-satunya bahasa
yang di akui. Seolah tidak ada lagi bahasa nasioanl di kawasan ASEAN yang bisa
menjadi pendamping bahasa Inggris.
Di Eropa tempat muasal bahasa Inggris, bahkan harus
bersaing dengan bahasa nasional lainnya seperti bahasa Prancis, bahasa Spanyol,
bahasa Jerman dan bahasa Rusia. Sekadar tambahan di benua Eropa, bahasa Inggris
hanya dijadikan bahasa resmi di kawasan Britania Raya yang meliputi Inggris
Raya dan Irlandia.
Bahasa Indonesia atau bahasa Melayu menjadi bahasa resmi
setidaknya di 4 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei
Darussalam. Jadi cukup beralasan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai
pendamping bahasa Inggris.
Faktor lain yang menjadi alasan bahasa Indonesia layak
dijadikan bahasa resmi kawasan ASEAN yaitu bahasa Indonesia merupakan bahasa
yang paling banyak di gunakan di kawasan ASEAN. Dari sekitar 550 juta lebih
penduduk ASEAN, sekitar 300 juta mereka bertutur menggunakan bahasa Indonesia
atau bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan cikal bakal dari bahasa Indonesia
modern. Bahasa ini digunakan dalam percakapan sehari-hari di negara Indonesia,
Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, dan sebagian Filipina
Selatan.
Pertimbangan lain bahasa Indonesia sudah masuk dalam
kurikulum di beberapa negara di dunia seperti di Australia, Australia sendiri
berniat ingin menjadi anggota ASEAN. Kabar lainnya bahasa Indonesia juga
dipelajari di negara Vietnam, bahkan di Kamboja bahasa Indonesia cukup terkenal
karena beberapa tahun silam ribuan pasukan penjaga perdamaian dari indonesia
pernah bertugas di Kamboja.
Jika rencana ini berhasil maka jalan untuk mempersatukan
ASEAN salah satunya lewat bahasa akan menjadi semakin mudah. Bahasa Indonesia
menjadi identitas baru di kawasan regional ASEAN, suatu kawasan yang kelak
menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru dunia. Dengan diterimanya bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi di ASEAN akan lebih mempermudah komunikasi
bisnis diantara rakyat di kawasan ini.
Setidaknya rakyat di kawasan ASEAN boleh berbangga salah
satu bahasa di kawasan ini menjadi pendamping bahasa Inggris, sekedar
perbandingan di Benua Amerika dari ujung utara benua Amerika yaitu Kanada
sampai ujung selatan benua Amerika yaitu Argentina, tidak satupun bahasa lokal
asli Amerika menjadi bahasa internasional, negara di kawasan ini hanya mengakui
bahasa Inggris, Prancis, Spanyol dan Portugis sebagai bahasa pemersatu mereka.
Jadi tinggal selangkah lagi bahasa kebanggan kita bahasa Indonesia menjadi
bahasa internasional yaitu menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Inggris.
Selain kemajuan bahasa Indonesia di kawasan ASEAN,
ternyata bahasa Indonesia juga digunakan di Negara Timor Leste sebagai bahasa
kerja atau bahasa dinas. Seperti yang dipaparkan Rendi (2011) bahwa bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya
konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari pernyataan di atas tentulah kita sebagai bangsa
Indonesia merasa bangga dengan bahasa kita sendiri yang sedikit demi sedikit
mulai dipakai oleh negara lain dan sedang dalam masa perjuangan mengukuhkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN.
KESIMPULAN
Bahasa merupakan
suatu alat komunikasi antarmanusia ataupun diri sendiri yang keberadaannya
sangat penting. Bahasa yang telah dipakai dan diresmikan oleh sebuah negara,
maka bahasa tersebut akan menjadi bahasa negara dan keberadaannyapun sangat
penting guna pemersatu masyarakat majemuk seperti yang daianut oleh bangsa
Indonesia.
Pembentukan bahasa
nasional tidak akan pernah terlepas dari tonggak sejarah sumpah pemuda 28
oktober 1928. Berawal dari situlah bahasa Indonesia lahir. Berpijak pada UUD
1945 pula bahasa Indonesia tetap tegak berjaya di nusantara. Oleh karena itu
semua, sebagai pemegang tongkat estafet pejuang era globalisasi harus mampu
bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik, benar, serta
mencerminkan kewibawaan bangsa Indonesia.
Dengan pelestarian
penggunaan bahasa Indonesia yang baku, makan impian menjadikan bahasa Indonesia
sebagai bahasa dunia akan segera terwujud. Semua langkah berada pada generasi
era globalisasi pemegang tongkat estafet Sumpah Pemuda.
SARAN
Sebagai bangsa yang
menghargai jasa para pahlawannya, Indonesia harus tetap tegak dan berjaya. Cita-cita
bangsa yang belum terwujud akan ditopangkan bebannya kepada pemuda pemegang
tongkat estafet pembangunan. Era globalisasi harusnya tidak menjadikan sebuah
halangan untuk melangkah lebih maju. Kemajemukan bangsa Indonesia harusnya juga
tidak menjadi batu sandungan untuk terus mempertahankan warisan para kaum
nasionalisme.
Melalui bahasa
Indonesia mari kita bersatu padu demi mewujudkan mimpi-mimpi yang belum
tercapai. Keberagaman bahasa daerah, keberagaman dialeg, tidak akan menghalangi
persatuan Indonesia. Sebagai rakyat bangsa Indonesia kita harus bangga dengan
bahasa yang kita pakai. Negara lain belum tentu memiliki bahasa negara
pascakemerdekaan.
DAFTAR
RUJUKAN
Aminuddin. 2011. Semantik. Bandung: Sinar Baru Aglesindo.
Aji, Rizki. 2011.
Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Negara, (Online),
(http://rizkiaji22.blogspot.com/2011/11/bahasa-indonesia-sebagai-bahsa-nasional.html),
dikases 21 September 2012.
Departemen
Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kushartanti. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Rahayu, Minto.
2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi.
Depok: Grasindo.
Pateda, Mansoer.
2010. Semantik Leksikal. Jakarta:
Rhineka Cipta.Suriasumantri, Jujun S. 1994. Ilmu
dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ramadhan, Fauzan.
2011. Pentingnya Belajar Bahasa Indonesia,
(Online), ( http://fauzanalkahfi.blogspot.com/2011/10/pentingnya-belajar-bahasa-indonesia.html),
diakses 21 September 2012.
Ramlan, Ari. 2010. Pembakuan Bahasa Indonesia, (Online), (http://ramlannarie.wordpress.com/2010/06/09/pembakuan-bahasa-indonesia/),
diakses 26 Oktober 2012.
Rendi. 2011. Pentingnya Bahasa Indonesia dalam Komunikasi,
(Online), (http://sirendi.blogspot.com/2011/10/pentingnya-bahasa-indonesia-dalam.html),
diakses 21 September 2012.
Rosidi, Ajip. 2001.
Bahasa Indonesia Bahasa Kita.
Bandung: Pustaka Jaya.
Rusdi. 2010. Asal Usul Nama Indonesia, (Online), (http://history1978.wordpress.com/2008/11/07/siapa-penemu-nama-indonesia/),
diakses 3 November 2012.
Santoso, Kusno
Budi. 1990. Problematika Bahasa Indonesia.
Bandung: Angkasa.
Sapto, Dwi Aji.
2011. Pengaruh Bahasa Daerah dan Bahasa
Asing Terhadap Bahasa Indonesia, (Online), (http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/02/pengaruh-bahasa-daerah-dan-bahasa-asing.html),
diakses 26 Oktober 2012.
Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2010, (Online), (http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf),
diakses 26 September 2012.
Wawan. 2011. Hubungan Bahasa Daerah dengan Bahasa
Indonesia, (Online), (http://wakuadratn.wordpress.com/2011/08/05/hubungan-fungsi-bahasa-daerah-dengan-bahasa-indonesia/),
diakses 26 Oktober 2012.
2011. Sejarah Bahasa Indonesia, (Online), (http://blog.wisma-bahasa.com/?p=17),
diakses 21 September 2012.
2010. Sejarah Nama Indonesia, (Online), (http://www.pustakasekolah.com/sejarah-nama-indonesia.html),
diakses 3 November 2012.
2010. Wikipedia: Sumpah Pemuda, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda),
diakses 21 September 2012.
tersedia juga dalam format PDF jika dijadikan format pembuatan artikel sesuai dengan PPKI (Pedoman Penulisan Karya Ilmiah) yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Malang (UM)
bagus sekali bacaannya dan makasih telah membaca blogspot saya di www.Dwiajisapto.blogspot.com
BalasHapussama-sama.. terima kasih kembali
BalasHapusizin copy , terima kasih :)
BalasHapus