greeting

SELAMAT DATANG | WELCOME

Jumat, 28 Desember 2012

FRIENDSHIP

SENANGNYA MEMILIKI KAWAN-KAWAN SEPERTI KALIAN..

MENIKMATI LIBURAN DI SEMESTER 3 INI DENGAN KALIAN..

MENIKMATI ASYIKNYA KEBERSAMAAN YANG MERIAH..

SELALU ADA KECERIAAN DI SETIAP SAAT (kaya rex**a)..

INILAH TAWA SERU KALIAN......

PindoffA at Prigi Beach


Dari Kiri...
Muhammad Fachrizal Atletico : cowok ganteng tapi somplak.. Asik diajak bercanda. :)
Riski Yulia Regita Sari : cewek pinter banyak skandal, salah satunya dengan asdos Pengantar Pendidikan
Roisah Amilina (krudung hijau2 biru) : cewek kurus berkacamata.. :)
Dodik Roby Demawan (baju item di atas) : cowok yang somplak..
Mohamad Helmi Nur Fikri (baju orange) : cowok yang kemana2 bawa2 HMJ (bajunya)
Dhenys Helmy Mahendra (baju pink) : cewek yang susah move on dari Kawil.. pesek pula (haha)
Anggita Bagus Octama (baju abu2) : cowok ketua kelas yang berhasil move on dari cewek posesif di kelas
Indah Kurniasari (kacamata item) : cewek yang nulis tentang teman2nya :)
Anisa Isdiarini (baju item sebelah indah) : cewek yang latah dan suka menyebut "ayam"
Dani Bagus Setiawan (cowok yang cuma keliatan kepalanya) : cowok yang susah menutup mulut karena banyak konsentrasi :)
Mohammad Ilham Ar Rozaq : cowok ganteng yang banyak di kejar2 cewe, dan punya imajinasi liar :)
Rendy (fotografer) : cowoknya Roisah Amilina :D


THEY ARE MY FRIENDS.
THEY ARE GOOD FRIENDS.
AND..
THEY ARE ALSO KOPLAK

Senin, 24 Desember 2012

Makna Bentuk yang Diplesetkan



BEBERAPA MAKNA BENTUK YANG DIPLESETKAN


MAKALAH
UNTUK MELENGKAPI TUGAS MATA KULIAH
Semantik Bahasa Indonesia
yang dibina oleh Bapak Sunaryo HS



oleh
Indah Kurniasari
110211413055
Offering A

  


UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
Desember 2012

A.      Pengertian
Belakangan ini bahasa Indonesia mengalami proses pembentukan kata dengan cara memplesetkan sebuah kata sehingga makna kata itu bertambah dari makna semula. Proses itu disebut dengan istilah plesetan kata dan hasil proses itu disebut kata plesetan.
Plesetan atau yang biasa disebut sebagai perubahan bentuk kata yang mirip dengan makna pragmatik yang baru pula. Plesetan dapat berupa humor tingkat tinggi maupun tergolong dalam bentuk kritik secara tidak langsung. Timbulnya plesetan dapat diakibatkan oleh adanya bentuk yang sama dan memiliki sebuah kecenderungan untuk menjadi populer. Umumnya bahasa plesetan dapat berupa kata maupun kelompok kata.
Robert Sibarani (dalam Antonius, 2008) menyatakan bahwa istilah kata-kata plesetan merpakan suatu hasil dari proses pembentukan kata dengan cara memplesetkan sebuah kata sehingga makna katu itu bertambah dari maknanya semula. Plesetan bahasa, sebagai sebuah proses, pada akhirnya akan memperlihatkan jenis bahasa plesetan yan terdapat dalam bahasa Indonesia.
Dalam istilah asingnya, plesetan disebut pun. Pun atau paronomasia merupakan permainan logika kata. Merusak homonim sebagai sinonim dengan antitesa. Mengaduk-aduk pikiran pendengar dengan ilusi imajinasi tentang kata dan kalimat yang dibentuk dan dipadukan. Sehingga membuat sebuah kalimat yang berkonotasi tertentu.
Permainan kata antarbahasa (interlangual pun) adalah pemanfaatan kehomoniman aksidental kata-kata yang berasal dari leksikon bahasa yang berbeda. Misalnya frase bahasa Inggris As you wish ‘seperti yang Anda kehendaki’ dengan sedikit manipulasi ejaannya diplesetkan menjadi frase bahas Jawa As yo wis ‘ah ya sudah’ sebagai cermin kepasrahan, keputusasaan, dan sikap menerima. Permainan kata seperti ini mirip seperti yang ditemui pada iklan rokok Wismilak yang memadukan nama produknya dengan frase bahasa Inggis wish me luck ‘doakan saya mendapat keberuntungan’.
Akhir-akhir ini dalam penggunaan bahasa Indonesia, meskipun tidak dalam situasi resmi, yakni gejala bentuk yang diplesetkan. Gejala bentuk yang diplesetkan menarik untuk dibicarakan, terutama dilihat dari segi makna, pesan yang disampaikan. Bentuk yang diplesetkan merupakan tindakan kesewenang-wenangan pemakai bahasa untuk menggunakan lambang tertentu yang tentu saja ingin memaknakan sesuatu.
Heryanto (dalam Pateda, 2011:153) mengatakan bahwa plesetan digambarkan sebagai kegiatan berbahasa yang mengutamakan atau memanfaatkan secara maksimal pembentukan berbagai pernyataan dan aneka makna yang dimungkinkan oleh sifat sewenang-wenang pada kaitan pertanda – makna –realitas empirik.
Maksud dari pernyataan di atas adalah ketika seseorang berbicara pada mulanya menggunakan bahasa dan struktur kata-kata yang umum, akan tetapi pembicara membubuhkan bentuk kata yang diplesetkan sehingga merujuk pada suatu hal yang telah disepakati oleh pemakai bahasa. Setelah pendengar mendengar bentuk yang diplesetkan tiba-tiba ia bisa tertawa maupun tersinggung karena paham dengan maksud dari bentuk yang diplesetkan.
B.       Bentuk-Bentuk Plesetan
Dalam hubungan dengan makna yang diplesetkan, Heryanto (dalam Pateda, 2011:153) membagi bentuk yang diplesetkan atas tiga jenis. Jenis Pertama, jenis plesetan untuk berplesetan itu sendiri. Pada jenis ini yang terjadi adalah kenikmatan bermain-main bahasa di dalam bahasa itu sendiri tanpa mempedulikan kaitannya dengan dunia di luar bahasa. Jenis pertama terdiri dari dua subkategori yakni:
1.    Subkategori pertama merupakan plesetan yang menuntut kemahiran, mengundang tawa penonton dengan mendistorsi kata sehingga terbentuk kata-kata lain yang sebenarnya tidak mempunyai sangkut paut atau justru tidak bermakna tetapi terdengar lucu jika dibincangkan. Misalnya kata partisipasi dapat diplesetkan dengan bentuk partisisapi.
2.    Subkategori kedua yakni sejumlah graffiti yang mendistorsikan istilah pribumi menjadi sedikit kebarat-baratan tanpa sepenuhnya melenyapkan unsur pribumi itu. Misalnya pada kata warung Takashimura dapat diplesetkan dengan bahasa Jawa tak kasih murah.
Jenis Kedua merupakan plesetan alternatif yang mengajukan sebuah penalaran atau acuan alternatif terhadap yang sudah atau sedang lazim dalam masyarakat. Dalam plesetan jenis keduaini terjadi penjegalan terhadap sesuatu yang sudah lazim dalam masyarakat. Ada dua subkategori yakni:
1.    Subkategori pertama yaitu sejumlah praktik berbahasa di antara para remaja yang biasa disebut bahasa prokem atau walikan. Plesetan jenis prokem mrengubah penanda, bukan makna atau hubungan referensial dengan realitas di luar bahasa.
2.    Subkategori Kedua yakni plesetan seperti yang tampak pada karya-karya atau teater Putu Wijaya. Pada karya Putu Wijaya yang tak hanya sekadar memberikan lelucon-lelucon tetapi juga menampilkan persoalan-persoalan kehidupan masyarakat secarasungguh-sungguh. Dengan kata lain plesetan bukan untuk berpleset tapi plesetan yangmengandung kritik.
Jenis Ketiga yakni plesetan oposisi karena ia memberikan nalar dan acuan secara konfrontatif  betubrukan apa yang sudah atau sedang lazim dalam masyarakat. Plesetan jenis ini bukan sekadar menggantikan satu tanda atau makna dengan tanda atau makna lain, tetapi menjungkirbalikkan nilai perlawanan frontal terhadap tanda atau makna yang telah ada. Yang banyak menjadi sasaran plesetan jenis ini adalah singkatan. Misalnya singkatan Rumah Sangat Sederhana (RSS), diplesetkan menjadi Rumah Sangat Sengsara.
C.      Makna Plesetan
Pada dasarnya jenis plesetan yang pertama (plesetan untuk berplesetan) tidak berminat menyampaikan pesan atau komentar apapun tentang realitas dunia di luar bahasa. Dengan kata lain, makna lepas dari acuan.
Plesetan jenis kedua (plesetan alternatif) menggugat penunggalan makna lazim tanpa berusaha meniadakan yang terlanjur lazim, sedangkan pada plesetan jenis ke tiga (plesetan oposisi), orang bukan terbuai pada kenikmatan bermain-main degan penanda, atau memberikan kemajemukan nilai alternatif pada acuan realitas, tetapi mengukuhkansuatu nilai tanding terhadap yang sudah lazim dalam masyarakat.
Plesetan merupakan gejala baru dalam penggunaan bahasa Indonesia. plesetan berhubungan dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan kemauannya. Masalah kini, yakni, apakah plesetan dianggap sebagai senjata ampuh kaum lemah melawan kaum yang beruntung, atau plesetan hanya berbentuk pelarian diri dari kenyataan yang sulit.
D.      Penggunaan
Dalam penggunaan kebahasaan sehari-hari khususnya dalam dunia pendidikan ternyata juga memiliki istilah-istilah baru yang diplesetkan baik bertujuan untuk mengkritik maupun memang hanya sekadar untuk bersenang-senang. Berikut contoh penggunaan makna plesetan dalam dunia pendidikan.
1.    Bentuk plesetan untuk berplesetan
Contoh bentuk plesetan berikut terinspirasi dari iklan dalam media elektronik.
a.    Sayangi IP-mu!! GARNIER
b.    Jawaban ujian bocor ? pake NODROP, pelapis soal anti bocor
c.    PA (Pembimbing Akademik): nilai kamu kenapa C semua? | mahasiswa: saya minum UC1000, mengandung 100% nilai C
d.   Dosen: gimana uasnya?
Mahasiswa: MAMAMIA LEZATOS
e.    Dosen: Maaf bapak telat
Mahasiswa: emang darimana pak?
Dosen: dari TELKOMSEL
f.     IP-mu mengalihkan duniaku
g.    Besok UAS tapi nggak belajar?? APA KATA DUNIA ??
h.    dapet E ?! Enjoy Aja
i.      Dosen: kenapa milih saya jadi pembimbing kamu?
Mahasiswa: Ga ada loe ga rame!
j.      Punya masalah dengan nilai UAS? PEGADAIAN “mengatasi masalah tanpa masalah”
2.    Plesetan Alternatif
Contoh berikut kata-kata yang mengalami prokem atau pembalikan bentuk kata. Biasanya gejala bahasa yang demikian teraplikasi pada masyarakat malang.
a.    Umak odis ladub jam orip? (kamu sido budal jam piro)
Kamu jadi berangkat jam berapa?
b.    Ayas ngalup. (saya pulang)
c.    Nawak-nawak hebak kadit osi rudit. (kawan-kawan kabeh tidak iso tidur)
Teman-teman semua tidak bisa tidur,
d.   Ayahab. (bahaya)
e.    Tangames. (semangat)
f.     Tamales igap. (selamat pagi)
g.    Enarupes. (sepurane)
Maaf
3.    Plesetan oposisi
Contoh berikut plesetan singkatan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) beserta analisis sosialnya.
Pertama, KTSP diplesetkan sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai. Plesetan ini mengisyaratkan bahwa para guru yang bertugas sebagai “loko” pendidikan belum siap menerima perubahan. Para guru tampaknya akan lebih siap apabila semua dokumen kurikulum telah disiapkan dengan rapi dari Jakarta seperti kurikulum sebelumnya. Jadi guru tidak perlu lagi direpotkan menentukan indikator setiap KD, menyusun silabus dan RPP, atau menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Kedua, KTSP diplesetkan sebagai Kurikulum Tetap Sama Produknya. Plesetan ini mengisyaratkan bahwa KTSP yang seharusnya mencerminkan karakter siswa didik, latar belakang sosial-budaya masyarakat setempat, dan kondisi sekolah, kenyataannya tak ada bedanya. KTSP antarsekolah, bahkan di seluruh Indonesia sama saja produknya. Itu karena “kreativitas” para guru melakukan copy-paste draft KTSP dari sekolah tertentu atau model KTSP yang dikeluarkan BSNP.
Ketiga, KTSP diplesetkan menjadi Kalau Tidak Siap Pensiun. Begitu rumitkah KTSP itu sehingga benar-benar membebani guru? Meski hanya sekadar plesetan, idiom-idiom seperti tampaknya mencerminkan carut-marutnya dunia pendidikan di Indonesia.
Ada pula bentuk-bentuk singkatan yang diplesetkan. Misalnya saja pada kata STMJ yang mulanya bermakna Susu Telur Madu Jahe menjasi Solat Terus Maksiat Jalan. Kata UGD yang makna awalnya Unit Gawat Darurat menjadi Ubet Golek Duwit.
E.       Penutup
Makna bentuk yang diplesetkan merupakan sebuah gejala dari fenomena pemakai bahasa yang pada mulanya mengalami kesilapan lidah hingga diupayakan menyerupai dan menimbulkan makna yang dirasa negatif. Pada dasarnya bentuk plesetan ini merupakan sebuah bentuk makna bahasa Indonseia yang baru.
Daftar rujukan
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rhineka Cipta.
Antonius, Rikky. 2008. Bahasa Plesetan dalam Acara Democrazy di MetroTV. Skripsi Universitas Sumatera Utara.
Daeng. 2008. Kumpulan Plesetan Iklan di Dunia Pendidikan, (Online), (http://portalmediaonline.blogspot.com/2012/09/kumpulan-plesetan-iklan-di-dunia.html#ixzz2FU1JE9w8), diakses 17 Desember 2012.


Tersedia dalam format PDF.
Klik DI SINI untuk mengunduh file via 4shared

Terima Kasih atas kunjungan Anda.
Semoga Bermanfaat :)

Pengembangan Bahan Ajar

Dalam kesempatan ini saya berbagi contoh pengembangan bahan ajar matapelajaran Bahasa Indonesia sesuai dengan KTSP yang disempurnakan (ceileee).

ini yang SMP >>> KLIK DI SINI
ini yang SMA >>> KLIK DI SINI


Terima Kasih atas kunjungan Anda.
Semoga bermanfaat. :)

Komparasi Aspek Sosial Budaya dalam Novel Siti Nurbaya dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan Pendekatan Sosiologi Sastra

Studi komparasi merupakan pembandingan dua hal yang mungkin sangat berbeda atau kontras bahkan dua hal yang identik mirip tetapi tidak sama.
Aspek sosial budaya merupakan latar sosial dan budaya yang tumbuh dalam masyarakat novel
Pemilihan novel Siti Nurbaya dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk bukanlah suatu hal yang tanpa sebab ketertarikan. biasanya pembandingan kedua novel ini dengan menggunakan pendekatan feminis, akan tetapi pada kenyataannya kedua novel ini dapat dibandingkan dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. walaupun pada dasarnya novel Siti Nurbaya lebih menitikberatkan pada segi perempuannya, dan novel Ronggeng Dukuh Paruk menitikberatkan pada permasalahan sosial.

Berikut makalah komparasi aspek sosial budaya novel Siti Nurbaya dan Ronggeng Dukuh Paruk
KLIK DI SINI :)

Terima Kasih atas kunjungan Anda di blog ini.
Semoga Bermanfaat.
kalau ingin Copas, tolong sertakan blog ini dalam daftar rujukan Anda.
sekali lagi Terima Kasih. :)

Indonesia Bebas Plagiat!

Peran dan Kedudukan Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Persatuan

Berikut artikel tentang hakikat Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.


PERAN DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
SEBAGAI BAHASA PERSATUAN

Indah Kurniasari
Universitas Negeri Malang
E-mail: picapicopici@yahoo.com

ABSTRAK: Bahasa adalah induk dari segala ilmu. Bahasa merupakan serangkaian bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh seperangkat alat ucap manusia yang bersifat arbitrer atau sewenang-wenang juga merupakan hasil dari konvensi yang telah disetujui dan diaplikasikan pada masyarakat. Bahasa nasional penting untuk menyatukan multikultural di Indonesia agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Sejalan dengan hal tersebut, penggunaan bahasa Indonesia harus sesuai dengan kaidah bahasa baku untuk mencerminkan kewibawaan sebuah bahasa.
Kata kunci: bahasa nasional, bahasa persatuan, bahasa baku
ABSTRACT: Language is the mother of all sciences. Language is a series of sounds produced by the human said set of tools that are arbitrary or abusive is also a result of the conventions that have been approved and applied in society. The national language is important to bring together multicultural Indonesia so as not to cause social jealousy. Accordingly, the use of Indonesian must comply with the rules of standard language to reflect the dignity of a language.
Key words: national language, unity language, basic language
Disadari atau tidak, kita sebagai manusia membutuhkan komunikasi antarmanusia untuk mencapai keinginan batiniah yang tidak dapat dihasilkan oleh diri sendiri. Alat vital komunikasi adalah bahasa. Bahasa bukan hanya suatu tatanan ujaran yang digunakan oleh dua orang pembicara atau lebih, melainkan kita berpikir juga memerlukan bahasa untuk menyampaikan hasil pemikiran. Seperti yang diungkapkan oleh Whitney (dalam Aminuddin, 2011:19), language is not only necesary for the formulation of thought but is part of thinking process itself. We cannot get outside language to reach thought, not outside thought to reach language.
Paparan Whitney di atas menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat untuk pengatur pemikiran melainkan bagian dari proses berfikir itu sendiri. Kita tidak bisa mengesampingkan bahasa untuk mencapai pemikiran tetapi kita mengesampingkan pemikiran untuk menjangkau bahasa.
Menurut KBBI, bahasa adalah (1) Ling sistem lambang bunyi berartikulasi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; (2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa (suku bangsa, negara, daerah, dsb); (3) percakapan (perkataan) yang baik; sopan santun; tingkah laku yang baik.
Maksud dari uraian KBBI di atas, dalam kajian linguistik, bahasa merupakan sebuah sistem lambang bunyi yang memiliki artikulasi yang bersifat arbitrer atau sewenang-wenang dan konvensional yang dipakau sebagai alat komunikasi untuk perasaan dan pikiran. Maksudnya adalah, bahasa bersifat arbitrer, bahasa mengikat penggunanya untuk menggunakan bahasa tersebut dalam berkomunikasi dan bahasa juga merupakan konvesional atau kesepakatan masyarakat bahasa yang digunakan pada suatu daerah tersebut.
Lebih lanjut mengenai masyarakat bahasa, Halliday (dalam Kushartanti, 1968: 35) mendefinisikan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa atau menganggap diri mereka memakai bahasa yang sama. Dalam pendapat yang dikemukakan oleh Halliday tersebut jelas bahwa bahasa bersifat konvensional, disepakati oleh mereka yang menganggap dirinya memakai bahasa yang sama dan bahasa tersebut diaplikasikan dalam komunikasi verbal.
KBBI juga mendefinisikan bahasa adalah perkataan-perkataan yang dipakai oleh suatu bangsa. Maksudnya, bahasa digunakan oleh suatu bangsa untuk berkomunikasi antarindividu dalam satuan suku bangsa, negara, maupun daerah. Bahasa juga merupakan sebuah perkataan yang baik, sopan santun, dan mencerminkan kepribadian atau tingkah laku penuturnya.
Lain halnya dengan Santoso (1990:1) dalam mengemukakan mengenai bahasa. Menurutnya, bahasa adalah rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar. Dalam kutipan tersebut lebih diketahui lagi bahwa pemakai bahasa menggunakan sebuah bahasa untuk beromunikasi antarmanusia secara sadar. Maksudnya dalam keadaan yang sadar, memiliki skemata dan tujuan yang ingin dicapai dalam komunikasi tersebut.
Penjelasan dari Santoso dapat dipertegas lagi dengan penjelasan Kridalaksana (dalam Kushartanti, 2005:23) yang berpendapat bahwa di dalam suatu masyarakat bahasa, orang dapat berkomunikasi dan saling memahami karena mereka memiliki gambaran mental yang sama tentang dunia. Kridalaksana menekankan bahwasannya komunikasi terjadi apabila kedua penutur memiliki gambaran mental atau memiliki persepsi yang sama tentang dunia.
Misalnya saja seseorang yang hanya mampu bertutur bahasa Indoneisa suatu hari pergi berlibur ke Eropa. Ia ingin menanyakan lokasi hotel terdekat dari bandara, dari sini dapat kita menangkap bahwa ia tidak mampu bertutur bahasa Eropa atau bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dan ia tidak akan pernah mengetahui lokasi hotel terdekat dari bandara kecuali ia bertemu seseorang yang juga berasal dari Indonesia.
Secara yuridis, bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, (2) Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, (3) Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia juga telah berhasil menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia.
Lebih dalam lagi pada paparan selanjutnya akan dibahas mengenai histori terbentuknya bahasa Indonesia, hubungan bahasa daerah dan bahasa asing dengan bahasa Indonesia, pembakuan bahasa Indonesia, dan yang terakhir mengenai kedudukan bahasa Indonesia.
HISTORI TERBENTUKNYA BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869). James Richardson Logan adalah orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk kepulauan Hindia atau kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name). Sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan nama negara atau suku India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama yakni Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis : … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Artinya adalah dalam populasi kepulauan Hindia atau Melayu seharusnya mengganti nama menjadi Indunesia atau Malayunesia.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, menurut Earl, bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini (Melayu).
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is Merelya shorter synonym for the IndianIslands or the Indian Archipelago. Yang berarti Tuan Earl menyarankan pemakaian nama Indunesia tetapi ia lebih menyukai pemakaian nama Malayunesia. Dan Logan lebih memilih nama untuk kepulauan dengan Indonesia yang mengandung kependekan dari pulau Hindia atau kepulauan Hindia.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke Indonesia pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah Indonesia itu ciptaan Bastian. Pada kenyataannya pendapat demikian tidak dibenarkan. Hal ini juga tercantum dalam Encyclopedie van NederlandschIndie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah Indonesia itu dari tulisan-tulisan Logan.
Nasionalis tanah air yang pertama kali menggunakan istilah Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913. Pada masa itu beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Pada tahun 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan, sehingga nama Indonesia akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, Negara Indonesia Merdeka(de toekomstige vrije Indonesische staat). Melalui tulisannya tersebut mustahil perjuangan kemerdekaan negara dengan nama yang diberikan Belanda, yahki Hindia Belanda. Juga tidak menggunakan nama Hindia saja, sebab nama tersebut dapat menimbulkan kekeliruan dengan negara India yang asli. Bagi kaum nasionalis saat itu, nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Pada tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama Indonesia. Akhirnya nama Indonesia dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat, DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Nederlandsch-Indie (Hindia – Belanda). Tetapi Belanda menolaknya dengan mentah-mentah.
Sebagai akibat kekalahan pihak Belanda saat Perang Dunia II, maka tanah air Indonesia jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan keadaan ini maka lenyaplah nama Hindia Belanda untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia melalui perjuangan dan doa para korban penjajahan,.
Awal terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu adalah melalui sebuah kongres pemuda yang diadakan pada 28 Oktober 1928. Diselenggarakan oleh pemuda-pemuda Indonesia di seluruh pelosok negeri. Kongres Pemuda yang menghasilkan bukti outentik tebentuknya bangsa Indonesia pada Kongres Pemuda II. Saat itulah kobaran jiwa-jiwa nasionalisme yang tertindas, terhimpit oleh penjajahan kolonialisme belanda mulai menunjukkan jiwa persatuannya untuk mewujudkan sebuah bangsa, bangsa yang memiliki kedaulatan, bangsa yang menginginkan kemerdekaan, dan bangsa itu adalah bangsa Indonesia.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI tersebut, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Isi dari rumusan yang diajukan adalah sebagi berikut:
1.        Pertama - Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
2.        Kedoewa - Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3.        Ketiga - Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dan masih banyak lagi. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Melalui ikrar sumpah pemuda tersebut lahir bangsa Indonesia. Dari butir ketiga sumpah pemuda tersebut mengikrarkan bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian secara de facto bahasa Indonesia lahir pada Sumpah Pemuda tersebut. Walaupun tidak ada penjelasan mendetail mengenai arti “bahasa Negara” pada saat itu, namun kedudukan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara adalah langkah lanjutan dari pengakuan dalam sumpah pemuda.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah mempunyai bahasa nasional, bahkan bahasa negara. Tidak seperti negara tetangga seperti Singapura, Filipina, dan India. Tidak mudah merumuskan bahasa negara, bahasa yang lahir dari dalam kebudayaan suatu bangsa tersebut. Walaupun bahasa Indonesia banyak diadopsi dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia tidak sama dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia merupakan salah satu varian dari bahasa Melayu.
Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia pada masa itu bukan karena adanya kepentingan suatu ras tertentu dalam kongres pemuda 28 Oktober 1928. Ketua Kongres Pemuda tersebut berasal dari jawa, Soegondo Djojopuspito, Mohammad Yamin berasal dari Batak. Bahkan pengguna bahasa Melayu pada masa itu masih tergolong sedikit, kebanyakan mereka menggunakan bahasa daerah dan bahasa belanda untuk kaum nasionalis. Pemerintah Belandalah yang berusaha menterjemahkan bahasa Melayu ke dalam tulisan latin yang kemudian disebut sebagai ejaan Van Ophuijsen. Bahasa rekayasa inilah yang mendasari pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka sebagai penerbitan buku-buku juga sebagai badan sensor penerbitan buku pada masa itu.
Selanjutnya pada masa penjajahan Jepang, pemerintah Jepang melarang keras penggunaan bahasa Belanda. Mau tidak mau rakyat Indonesia menggunakan bahasa daerah dan bahasa Melayu Indonesia sebagai media komunikasi. Bahasa Melayu pada masa itu banyak digunakan untuk menerbitkan buku-buku selain dalam bahasa Daerah dan bahasa Belanda. Pada masa itu bahasa Melayu juga telah digunakan oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Hal ini juga tidak terlepas dari rumpun bangsa yang mengikat Indonesia adalah rumpun bangsa melayu.
Kemudian setelah kemerdekaan bahasa Indonesia juga telah mengalami perkembangan kosakata. Kata-kata bahasa Melayu juga sudah mengalami pergeseran makna menjadi suatu kesatuan bahasa yang santun. Maka pada tahun 1950 dibentuklah sebuah ejaan penyempurnaan bahasa Indonesia atau yang kerap disebut sebagai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
PENGARUH BAHASA ASING DAN BAHASA DAERAH DALAM BAHASA INDONESIA
Bahasa indonesia tidak dapat berdiri sendiri sebagai bahasa nasional tanpa pengaryh dari bahasa-bahasa diluar bahasa Melayu yang menjadi landasan dasar bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia juga mendapat kata-kata yang berasal dari bahasa Asing sebagai dampak perdagangan maupun dampak kolonialisme di Indonesia. Selain itu bahasa Indonesia juga memperoleh kosakata yang tidak ada dalam bahasa Melayu dari bahasa daerah tertentu.
Kosakata dalam bahasa Melayu yang digunakan sebagai dasar bahasa Indonesia tidak mempunyai kosakata yang banyak untuk mewakili benda-benda atau perihal-perihal yang ada dalam masyarakat majemuk Indonesia. Oleh karena itu, penyerapan kosakata dilakukan dengan mengambil kata-kata Asing maupun kata-kata dari bahasa daerah. Penyerapan kata-kata tersebut dilakukan dengan dua cara. Pertama penyerapan secara keseluruhan baik pengucapannya maupun penulisannya. Cara yang kedua dengan menyesuaikannya dengan pengucapan maupun penulisan sesuai dengan tata bahasa baku bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, harus takluk dengan bahasa Indonesia. Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa bisa disebut dengan dialek, maka beraneka macam ragam bahasa tersebut masih tetap disebut bahasa Indonesia.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahasa Indonesia tidak secara murni mencercap bahasa Melayu murni. Bahasa Indonesia selain menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, ternyata bahasa Indonesia berkembang dengan adanya bahasa asing dan bahasa daerah yang lebih dahulu terlahir dibandingkan bahasa Indonesia.
Bahasa asing banyak juga yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dari awal pertumbuhannya sampai sekarang telah banyak menyerap unsur-unsur asing terutama dalam hal kosakata. Kata serapan adalah kata yang berasal dari bahasa asing yang sudah diintegrasikan kedalam suatu bahasa dan diterima pemakaiannya secara umum. Bahasa Indonesia menyerap banyak kata dari bahasa-bahasa lain, terutama dari negara yang pernah berhubungan langsung dengan Indonesia baik melalui perdagangan (Sansekerta, Arab, dan Tionghoa), melalui penjajahan (Portugis, Jepang, Belanda), maupun dari perkembangan ilmu pengetahuan (Inggris). Berikut data jumlah kata asing yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia:
No.
Asal Bahasa
Jumlah Kata yang Diserap
1.     
Arab
1.495 kata
2.     
Belanda
3.280 kata
3.     
Tionghoa
290 kata
4.     
Hindi
7 kata
5.     
Inggris
1.610 kata
6.     
Parsi
63 kata
7.     
Portugis
131 kata
8.     
Sanskerta-Jawa Kuna
677 kata
9.     
Tamil
83 kata
Sumber: http://www.dwiajisapto.blogspot.com.
Seperti yang kita ketahui dari pelajaran sejarah, bahasa Sansekerta telah dipakai di Nusantara sejak masa lampau. Bahasa Sansekerta tercatat paling awal masuk ke Nusantara (Indonesia). Bahasa ini dipakai mula-mula di salah satu peradaban tertua, peradaban Sungai Indus dan menyebar ke hampir seluruh dunia besamaan meyebarnya kepercayaan Hindu. Salah satu tempat menyebarnya kepecayaan Hindu adalah daerah Asia Tenggara. Kerajaan Sriwijaya, dari namanya pun sudah memakai bahasa Sansekerta. Sampai di masa kerajaan-kerajaan Islam, bahasa Sansekerta masih dipakai, contohnya adalah nama-nama raja di Jawa. Beberapa kata serapan dari bahasa Sansekerta antara lain: bencana (vāñcana), anugerah (anugraha), busana (bhūṣaṇa), sahaja (sahaja), istana (āsthāna), dan istri (strī).
Selanjutnya pengaruh bahasa Cina terhadap bahasa Indonesia berawal dari hubungan dagang yang terjadi sejak abad ke-7. Para saudagar Cina berdagang ke Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, bahkan sampai juga ke Maluku Utara. Pada saat Kerajaan Sriwijaya muncul dan kukuh, Cina membuka hubungan diplomatik dengannya untuk mengamankan usaha perdagangan dan pelayarannya. Pada tahun 922 musafir Cina melawat ke Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur. Sejak abad ke-11 ratusan ribu perantau meninggalkan tanah leluhurnya dan menetap di banyak bagian Nusantara (Kepulauan Antara, sebutan bagi Indonesia).
Yang disebut dengan bahasa Tionghoa adalah bahasa di negara Cina. Bahasa di negara Cina tidak hanya satu bahasa, melainkan banyak bahasa yang ada di negara Cina. Empat diantara bahasa-bahasa itu yang di kenal di Indonesia yakni Amoi, Hakka, Kanton, dan Mandarin. Kontak yang begitu lama dengan penutur bahasa Tionghoa ini mengakibatkan perolehan kata serapan yang banyak pula dari bahasa Tionghoa, namun penggunaannya tidak digunakan sebagai perantara keagamaan, keilmuan, dan kesusastraan di Indonesia sehingga ia tidak terpelihara keasliannya dan sangat mungkin bahasa Tionghoa berbaur dengan bahasa di Indonesia. Contohnya: anglo, bakso, cat, giwang, kue atau kuih, sampan, dan tahu.
Bahasa Arab dibawa ke Indonesia mulai abad ketujuh oleh saudagar dari Persia, India, dan Arab yang juga menjadi penyebar agama Islam. Kosakata bahasa Arab yang merupakan bahasa pengungkapan agama Islam mulai berpengaruh ke dalam bahasa Melayu terutama sejak abad ke-12 saat banyak raja memeluk agama Islam. Kata-kata serapan dari bahasa Arab misalnya abad, bandar, daftar, edar, kursi, gairah, hadiah, hakim, ibarat, jilid, kudus, mimbar, sehat, taat, wajah, dan koran. Karena banyak di antara pedagang itu adalah penutur bahasa Parsi maka tidak sedikit kosakatanya juga pada akhirnya diserap, seperti acar, baju, domba, kenduri, piala, saudagar, dan topan.
Masa penjajahan di Indonesia pertama kali dimulai oleh masuknya bangsa Portugis yang ingin mencari rempah-rempah yang pada saat itu nilainya sangat tinggi. Bahasa Portugis dikenali masyarakat penutur bahasa Melayu sejak bangsa Portugis menduduki Malaka pada tahun 1511 setelah setahun sebelumnya ia menduduki Goa. Portugis disingkirkan Belanda yang datang kemudian dan Portugis harus menyingkir ke daerah timur Nusantara. Meski demikian, pada abad ke-17 bahasa Portugis sudah menjadi bahasa penghubung antaretnis di samping bahasa Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Portugis seperti algojo, bangku, dadu, gardu, meja, picu, renda, dan tenda.
Belanda mendatangi Nusantara pada awal abad ke-17 ketika ia mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1606, kemudian ia menuju ke pulau Jawa dan daerah lain di sebelah barat. Sejak itulah, secara bertahap Belanda menguasai banyak daerah di Indonesia. Bahasa Belanda tidak sepenuhnya dapat menggeser kedudukan bahasa Portugis, karena pada dasarnya bahasa Belanda lebih sukar untuk dipelajari, lagipula orang-orang Belanda sendiri tidak suka membuka diri bagi orang-orang yang ingin memepelajari kebudayaan Belanda termasuk bahasanya. Hanya saja pendudukannya semakin luas meliputi hampir di seluruh negeri dalam kurun waktu yang lama. Belanda juga merupakan sumber utama dalam menimba ilmu bagi kaum pergerakan nasional. Oleh karena itu, komunikasi gagasan kenegaraan pada saat negara Indonesia didirikan banyak mengacu pada bahasa Belanda. Beberapa kata-kata serapan dari bahasa Belanda seperti abodemen, bangrut, dongkrak, ember, formulir, dan tekor.
Pendududkan Jepang di Indonesia yang selama tiga setengah tahun tidak meninggalkan warisan yang dapat bertahan melawati beberapa angkatan. Kata-kata serapan dari bahasa Jepang yang digunakan umumnya bukanlah hasil hubungan bahasa pada masa pendudukan, melainkan imbas kekuatan ekonomi dan teknologinya. Kata serapan dari bahasa Jepang antara lain: ebi, judo, karaoke, kimono, dan samurai.
Bangsa Inggris tercatat pernah menduduki Indonesia yaitu ketika Raffles menginvasi Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1811. Kata serapan dari bahasa Inggris ke dalam kosa kata Indonesia umumnya terjadi pada zaman kemerdekaan Indonesia, namun ada juga kata-kata Inggris yang sudah dikenal, diserap, dan disesuaikan pelafalannya ke dalam bahasa Melayu sejak zaman Belanda yang pada saat Inggris berkoloni di Indonesia antara masa kolonialisme Belanda. Kata-kata itu seperti badminton, kiper, gol, dan bridge. Banyaknya kosakata bahasa Inggris yang diserap kedalam bahasa Indonesia karena bahasa Inggris telah diakui sebagai bahasa internasional atau bahasa dunia. Dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknolgi yang sebagian besar informasinya ditulis dalam bahasa Inggris, beberapa istilah-istilah penting akan tertulis dalam bahasa Inggris juga.
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya, khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh, seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya kata “mengapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan “mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka. Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya bisa-bisaan untuk berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih akrab. Beberapa kata dari bahasa daerah juga diserap menjadi Bahasa Indonesia yang baku, antara lain kata nyeri (Sunda) dan kiat (Minangkabau).
Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya.
Selain itu, bahasa Daerah ternyata sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan atau pelajaran lain. Di daerah tertentu , bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Bahasa Daerah juga sebagai sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia. Seringkali istilah yang ada di dalam bahasa daerah belum muncul di bahasa indonesia sehingga bahasa indonesia memasukkannya istilah tersebut, contohnya “gethuk“ yaitu makanan yang dibuat dari ubi dan sejenisnya kemudian direbus, lalu dicampur gula dan kelapa (ditumbuk bersamaan). Karena di bahasa indonesia istilah tersebut belum ada, maka istilah “gethuk“ juga di resmikan di bahasa indonesia sebagai istilah dari “makanan yang dibuat dari ubi dan sejenisnya kemudian direbus, lalu dicampur gula dan kelapa (ditumbuk bersamaan)“.
Bahasa Daerah merupakan pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah. Dalam tatanan pemerintah pada tingkat daerah, bahasa daerah menjadi penting dalam komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat yang kebanyakan masih menggunakan bahasa ibu sehingga dari pemerintah harus menguasai bahasa daerah tersebut yang kemudian bisa dijadikan pelengkap di dalam penyelenggaraan pemerintah pada tingkat daerah tersebut.



PEMBAKUAN BAHASA INDONESIA
Sebagai bahasa yang hidup, bahasa Indonesia telah dan akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan masyarakat pemakainya. Luasnya wilayah pemakaian bahasa Indonesia dan keanekaragaman penuturnya serta cepatnya perkembangan masyarakat telah mendorong berkembangnya berbagai ragam bahasa Indonesia dewasa ini. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat penutur yang berbeda latar belakangnya baik dari segi geografis maupun dari segi sosial menyebabkan munculnya berbagai ragam kedaerahan (ragam regional) dan sejumlah ragam sosial.
Bermula dari latar belakang terbentuknya bahasa Indonesia yang banyak menyerap dari bahasa asing maupun daerah, maka perlu dibakukan atau distandarkan. Pembakuan bahasa berfungsi untuk komunikasi formal dan resmi dengan bahasa yang santun, baik, dan benar serta berwibawa ketika menggunakan bahasa nasional.
Pembakuan atau penstandaran bahasa adalah pemilihan acuan yang dianggap paling wajar dan paling baik dalam pemakaian bahasa. Masalah kewajaran terkait dengan berbagai aspek. Dalam berbahasa, misalnya, aspek ini meliputi situasi, tempat, mitra bicara, alat, status penuturnya, waktu, dan lain-lain. Aspek-aspek tersebut disebut juga dengan istilah konteks.
Konteks itulah yang menuntut adanya variasi bahasa. Dalam pemakaiannya, variasi bahasa berhubungan dengan masalah fungsi bahasa sebagai alat komunikasi sosial. Berdasarkan fungsinya itu,maka bahasa tidak menunjukkan adanya satu acuan yang dipergunakan untuk berkomunikasi dalam segala fungsinya. Setiap acuan cenderung dipergunakan sesuai konteks yang mempengaruhinya.
Karena adanya berbagai acuan itu, maka masalah utama standardisasi bahasa adalah acuan manakah yang harus dipilih di antara berbagai acuan yang ada dalam berbagai variasi pemakaian sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yang akan ditetapkan sebagai acuan standar.
Ada beberapa hal yang perlu dipedomani untuk penetapan bahasa baku atau standar. Pedoman itu meliputi hal sebagai berikut.
1.      Dasar keserasian; bahasa yang digunakan dalam komunikasi resmi,baik tulis maupun lisan
2.      Dasar keilmuan; bahasa yang digunakan dalam tulisan-tulisan ilmiah
3.      Dasar kesastraan; bahasa yang digunakan dalam berbagai karya sastra.
Masalah pembakuan bahasa terkait dengan dua hal, yakni kebijaksanaan bahasa dan perencanaan bahasa. Melalui kebijaksanaan bahasa dipilih dan ditentukan salah satu dari sejumlah bahasa yang ada untuk dijadikan bahasa nasional atau bahasa resmi kenegaraan. Sedangkan melalui perencanaan bahasa dipilih dan ditentukan sebuah ragam bahasa dari ragam-ragam yang ada untuk dijadikan ragam baku atau ragam standar bahasa tersebut. Proses pemilihan atau penyeleksian dan penetapan salah satu ragam bahasa resmi kenegaraan atau kedaerahan, serta usaha-usaha pembinaan dan pengembangannya yang dilakukan secara kontinu disebut pembakuan bahasa atau penstandaran bahasa.
Bahasa baku atau bahasa standar adalah bahasa yang memiliki nilai komunikatif yang tinggi, yang digunakan dalam kepentingan nasional, dalam situasi resmi atau dalam lingkungan resmi dan pergaulan sopan yang terikat oleh tulisan baku, ejaan baku, serta lafal baku (Junus dan Arifin Banasuru dalam Ramlan, 2010). Bahasa baku tersebut merupakan ragam bahasa yang terdapat pada bahasa bersangkutan. Ragam baku itu merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan diakui oleh sebagian kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya.
Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam usaha pembakuan bahasa adalah:
1.      Kodifikasi
Himpunan dari hasil pemilihan mana yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya,itulah kodifikasi. Jadi, yang mula-mula dilakukan ialah inventarisasi bahan dari sejumlah bidangyang diperlukan. Kemudian diadakan pemilihan pada kelompok tiap bidang. Selanjutnya, hasil pemilihan itu dihimpun menjadi satu kesatuan. Dalam pengkodifikasian bahasa Indonesia akan menyangkut dua aspek yang penting, yaitu:
a.         Bahasa menurut situasi pemakai dan pemakaiannya.
b.        Bahasa menurut strukturnya sebagai suatu sistem komunikasi.
Kodifikasi yang pertama akan menghasilkan sejumlah ragam bahasa dan gaya bahasa. Perbedaan ragam gaya tampak dalam pemakaian bahasa lisan dan bahasa tulisan, masing-masing akan mengembangkan variasi menurut pemakaiannya di dalam pergaulan keluarga dan sahabat. Kodifikasi yang kedua menghasilkan tata bahasa dan kosa kata yang baku. Pada umumnya yang layak dianggap baku adalah ujaran dan tulisan yang dipakai oleh golongan masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan lebih besar kewibawaannya.
2.      Elaborasi
Elaborasi ini merupakan penyebarluasan kodifikasi. Penyebarluasan ini dilakukan dengan jalan menerapkan hasil kodifikasi ke dalam segi kehidupan bangsa Indonesia.
3.      Implementasi
Setelah usaha kodifikasi dan elaborasi, maka harus diikuti oleh usaha implementasi yang merupakan proses akhir dari usaha pembakuan bahasa. Terwujudnya implementasi dengan baik berarti usaha pembakuan bahasa telah tercapai. Hal ini bergantung pada masyarakat, apakah masyarakat menerima hasil kodifikasi dan usaha elaborasi tadi dengan sikap positif atau tidak. Jika usaha kodifikasi dan elaborasi dikerjakan oleh pusat pembinaan dan pengembangan bahasa atau lembaga-lembaga bahasa maka implementasi dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat.
Untuk menentukan apakah sebuah ragam bahasa itu baku atau tidak, maka ada tiga hal yang dijadikan patokan. Ketiga hal tersebut adalah kemantapan dan kedinamisan, kecendikian dan kerasionalan, serta keseragaman.
1.        Kemantapan dan Kedinamisan
Mantap artinya sesuai atau taat dengan kaidah bahasa. Kata rasa, misalnya jika dibubuhi imbuhan pe- maka terbentuklah kata jadian perasa. Begitu juga kata raba. Kata tersebut bila dibubuhi imbuhan pe- maka akan terbentuk kata jadian peraba. Kata rajin juga demikian. Kalau kita taat asas maka kita akan mengatakan pengaji bukan pengkaji untuk orang yang melakukan kajian (research).
Dinamis artinya tidak statis atau tidak kaku. Bahasa baku tidak menghendaki bentuk yang kaku, apalagi mati. Bahasa baku menghendaki bahasa yang luwes, fleksibel, dan dapat mewakili perihal yang diluar bahasa yang ingin disampaikan oleh penutur.
2.        Kecendikian atau Kerasionalan
Bahas baku bersifat cendikia karena bahasa baku dipakai di tempat-tempat resmi dan oleh orang terpelajar. Selain itu, bahasa baku dapat menjembatani antarpengguna, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam pemerosesan pesan. Dapat juga dikatakan bahasa baku memberikan gambaran apa yang ada di dalam otak pembicara atau penulis, serta memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca.
3.        penyeragaman
Pada hakikatnya pembakuan bahasa berarti penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa artinya pencarian atau penentuan titik-titik keseragaman. Sebagai contoh, sebutan pelayanan kapal terbang dianjurkan mengguanakan istilah pramugara untuk laki-laki dan pramugari untuk perempuan. Andaikata ada orang yang menggunakan kata steward atau stewardes dan penyerapan itu seragam, maka kata-kata tersebut menjadi kata-kata baku. Akan tetapi, kenyataannya hingga saat ini kedua kata tersebut tidak kita gunakan dalam konteks keindonesiaan.
Selain berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa baku mempunyai fungsi lain. Gravin dan Mathint (Chaer dalam Ramlan, 2010) menjelaskan bahwa bahasa baku bersifat sosial politik, yaitu fungsi pemersatu, fungsi pemisah, fungsi harga diri, dan fungsi kerangka acuan.
Maksud dari penjelasan Gravin dan Mathint bahasa baku bersifat sosial pilitik adalah bahasa disususn sedemikian rupa untuk menyatukan masyarakat majemuk yang ada dalam suatu negara, fungsi pemisah klasifikasi sosial yang mencolok seperti pada masayrakat budaya hindu maupun masyarakat keraton. Bahasa baku dapat mencerminkan penuturnya, penutur yang baik dalam berbahasa Indonesia yang baku, maka orang tersebut juga mencerminkan harga dirinya yang santun. Bahasa baku juga berfungsi menunjuk kerangka acuan yang berada di luar kebahasaan.
Alwi, dkk. (dalam Ramlan, 2010) menjelaskan bahwa bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan yang satu lagi bersifat objektif. Fungsi-fungsi tersebut adalah (1) fungsi pemersatu, (2) fungsi pemberi kekhasan, (3) fungsi pembawa kewibawaan, dan (4) fungsi sebagai kerangka acuan.
Kridalaksana (dalam Ramlan: 2010) mencatat empat fungsi bahasa yang menuntut penggunaan ragam baku, yaitu (1) komunikasi resmi, (2) wacana teknis, (3) pembicaraan di depan umum, dan (4) pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari empat fungsi bahasa yang menuntut ragam baku itu, hanya dua yang terakhir yang langsung berkaitan dengan komunikasi verbal secara lisan. Dengan kata lain, lafal baku perlu digunakan dalam pembicaraan di depan umum, seperti kuliah, ceramah, khotbah, pidato, atau dalam pembicaraan dengan orang yang dihormati seperti pembicaraan dengan atasan, dengan guru, dan dengan orang yang baru dikenal.
Telah dijelaskan di atas bahwa ragam bahasa baku dianggap sebagai ragam bahasa yang baik yang cocok untuk keperluan komunikasi verbal yang penting, yang menjadi tolok untuk pemakaian bahasa yang benar, dan yang bergengsi serta berwibawa. Dalam hubungan dengan fungsi sosial bahasa baku itu, Moeliono (dalam Ramlan: 2010) mencatat empat fungsi pokok, yakni fungsi pemersatu, fungsi penanda kepribadian, fungsi penanda wibawa, fungsi sebagai kerangka acuan.
Pada umumnya fungsi pokok bahasa baku yang diungkapkan para pakar di atas memiliki kesamaan. Bahasa pokok berfungsi sebagai pemersatu, pencermin kepribadian, dan sebagai penanda rujukan di luar kebahasaan.
Penggunaan bahasa baku umumnya digunakan untuk hal-hal surat menyurat antarlembaga, laporan keuangan, karangan ilmiah, lamaran pekerjaan, surat keputusan, perundangan, nota dinas, rapat dinas, pidato resmi, diskusi, penyampaian pendidikan, dan sebagainya yang berurusan dengan lembaga formal.
Andaikata kita sudah memiliki salah satu ragam bahasa untuk dijadikan ragam baku, maka pembakuan itu harus dilakukan pada semua tataran, baik fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, maupun semantik. Secara resmi, berdasarkan Ejaan Yang Disempurnkan, fonem-fonem bahasa Indonesia sudah ditentukan, tetapi yang berhubungan dengan pelafalan belum pernah dilakukan pembakuan. Menurut konsensus, seseorang telah berbahasa Indonesia dengan lafal baku apabila ia tidak menampakkan ciri-ciri bahasa daerah. Dengan pelafalan baku itu, seseorang tidak diketahui secara linguistik darimana ia berasal. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam berbahasa Indonesia baku, ia tidak terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain yang dikuasainya.
Dalam bidang ejaan, pembakuan telah lama dilakukan dan telah melalui proses yang panjang. Dimulai dengan ditetapkannya ejaan van Ophuijsen pada tahun 1901, dilanjutkan dengan ejaan Swandi atau Ejaan Republik pada tahun 1947, diteruskan dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Bahkan EYD ini berlaku juga bagi bahasa Melayu Malaysia dan bahasa Melayu Brunei Darussalam.
Dalam bidang tata bahasa, pembakuan telah dilakukan, yakni dengan diterbitkannya buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Pembakuan bahasa Indonesia dalam bidang kosakata dan peristilahan juga telah lama dilakukan. Pembakuan tersebut dapat dilihat dari ejaannya, lafalnya, bentuknya, dan sumber pengambilannya.
Dalam bidang peristilahannya misalnya, bahasa Indonesia memiliki aturan sendiri. Dari segi sumbernya, istilah-istilah yang diambil dapat bersumber dari kosa kata bahasa Indonesia (baik yang lazim maupun tidak), kosakata bahasa serumpun, dan kosakata bahasa asing. Penjelasan lebih lanjut tentang sumber istilah itu terlihat pada uraian berikut ini.
1.      Kosakata Bahasa Indonesia
Kata bahasa Indonesia yang dapat dijadikan bahan istilah ialah kata umum, baik yang lazim maupun tidak lazim. Kata-kata tersebut harus memenuhi salah satu syarat (boleh lebih) berikut:
a.    Kata dengan tepat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan
b.    Kata lebih singkat daripada kata yang lain yang berujukan sama
c.    Kata yang tidak bernilai rasa (konotasi) buruk dan yang sedap didengar (eufonik).
Disamping itu, istilah dapat berupa kata umum yang diberi makna baru atau makna khusus dengan jalan menyempitkan atau meluaskan makna asalnya.
2.      Kosakata Bahasa Serumpun
Jika dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan istilah yang dengan tepat dapat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang dimaksudkan, maka istilah dicari dalam bahasa serumpun, baik yang lazim maupun yang tidak lazim yang memenuhi syarat pada bagian satu di atas.
3.      Kosakata Bahasa Asing
Jika baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa serumpun tidak ditemukan istilah yang tepat, maka bahasa asing dapat dijadikan sumber peristilahan Indonesia. Istilah baru dapat dibentuk dengan jalan menerjemahkan, menyerap, menyerap sekaligus menerjemahkan istilah asing itu.
Di era globalisasi penutur bahasa Indonesia mengalami kesulitan penggunaan bahasa baku untuk komunikasi resmi. Hal ini karena banyaknya jargon-jargon atau bahasa baru yang populer di kalangan masyarakat hingga menggeser kebakuan bahasa Indonesia. Walaupun bahasa Indonesia bukan suatu sistem bahasa yang kaku seperti pembahasaan pada negara Jepang, bukan berarti juga bahasa Indonesia dengan mudah dikolaborasikan dengan bahasa yang bukan baku. Pencampuran bahasa akan berdampak pada penurunan esensi bahasa nasional di tingkat Internasional. Akan semakin sulit suatu bahasa tersebut dipelajari oleh bangsa lain.
Bukan suatu upaya yang mudah untuk membakukan bahasa Indonesia yang dipandang sebagai bahasa nasional. Seharusnya sebagai pejuang globalisasi haruslah menggunakan bahasa Indonesia dengan baku, benar, baik, dan berwibawa agar kelak impian bangsa Indonesia mewujudkan bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia terlaksana secepat mungkin.
KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NASIONAL
Di bumi ini semua manusia mempunyai bahasa. Pemilikan bahasa konseptual ini membedakan manusia dari yang lainnya. Dalam kelangsungan kehidupan manusia, maka fungsi bahasa yang paling mendasar adalah menjelmakan pemikiran konseptual ke dalam dunia kehidupan. Kemudian penjelmaan tersebut menjadi landasan untuk suatu perbuatan. Perbuatan ini menyebabkan terjadinya hasil, dan akhirnya hasil ini dinilai. Bila pemikiran konseptual tidak dinyatakan dalam bahasa, maka orang lain tidak akan mengetahui pemikiran tersebut. Ada kemungkinan juga sebuah pemikiran langsung dijelmakan dalam sebuah perbuatan, yang kemudian ditirukan oleh orang lain. Tetapi langkah demikian serupa dengan perilaku seekor monyet sekitar 30 juta tahun yang lalu.
Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan Aminuddin (2011:10) yang menyatakan bahwa bahasa adalah alat atau media untuk berpikir dan mengeluarkan hasil pemikirannya juga melalui bahasa yang komunikatif dan dapat dipahami antar masyarakat bahasa.
Maksud dari pernyataan di atas adalah bahasa merupakan inti dari berpikir dan bisa dikatakan sebagai induk sebuah ilmu. Tanpa ada bahasa mereka para ilmuan mungkin tidak menjadi seorang ilmuan yang terkenal karena mereka tidak mampu menyampaikan hasil pemikirannya dengan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan sarana komunikasi baik komunikasi antarindividu maupun komunikasi diri sendiri yang disebut dengan komunikasi batiniah.
Sama halnya dengan pernyataan Minto (2007:5) bahwa berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan media bahasa. Bahasa harus dipahami oleh semua pihak dalam suatu komunitas. Komunikasi merupakan penggerak kehidupan. Jadi, tidak mungkin dapat dihilangkan karena manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi atau hubungan dengan manusia lain.
Paparan dari Minto di atas menerangkan kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dalam suatu komunitas untuk kelangsungan hidup manusia. Komunikasi antarmanusia tidak dapat dienyahkan dari peradaban manapun dan selamanya tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu, komunikasi atau interaksi merupakan hal yang vital atau penting.
Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa di dunia sangat beragam. Keberagaman bahasa dunia ini mencerminkan pentingnya sebuah bahasa yang digunakan dalam masyarakat tertentu untuk berkomunikasi. Keberagaman bahasa di dunia saat ini sudah ada solusinya untuk bisa berkomunikasi secara global yakni melalui bahasa Inggris. Tidak jauh berbeda dalam satuan negara, khususnya Indonesia yang juga memiliki banyak suku bangsa, budaya, serta bahasa dapat disatukan dengan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia merupakan bahasa terpenting di kawasan republik Indonesia. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berbunyi: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Selanjtnya butir ketiga dari Sumpah Pemuda tersebut diperkuat dengan Undang-Undang Dasar 1945 bab XV pasal 36 yang menyatakan bahwa “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dasar landasan pentingnya bahasa Indonesia sudah dipertegas dalam UUD 1945. Maka penting tidaknya suatu bahasa dapat juga didasari pada: (1) jumlah penuturnya; (2) luas penyebarannya; (3) peranannya sebagai sarana ilmu, kasusastraan, dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai. Menurut patokan-patokan yang diajukan tersebut, bahasa nasional mengatasi bahasa daerah yang lain.
Bahasa nasional berkedudukan di atas bahasa daerah yang digunakan dalam negara tersebut secara resmi dan formal. Bahasa nasional memiliki jumlah penutur yang banyak karena sifat bahasa pada dasarnya arbitrer  dan konvensional. Selain itu penyebaran bahasa nasional lebih luas meliputi seluruh nusantara. Bahasa nasional juga berperan sebagai madia penyalur ilmu, kesusastraan, dan media pengungkapan budaya yang lainnya yang dianggap bernilai, berharga.
Pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dirasa sudah arif dan bijaksana. Karena jika salah satu bahasa daerah diangkat menjadi bahasa nasional maka akan timbul kecemburuan sosial pada pemilik kebudayaan yang lain, mereka merasa bahwa mereka dipandang sebelah mata. Maka hal yang paling buruk akan ada disintegrasi nasional, banyak gerakan separatisme, dan tidak akan menjadi bahasa pemersatu. Pemilihan bahasa Indonesia menghindarkan dari kecemburuan sosial antarsuku, menghindarkan disintegrasi nasional, serta mencegah gerakan separatisme.
Bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa negara, sebagai bahasa negara berarti bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus digunakan sesuai dengan kaidah berbahasa Indonesia dengan baku, baik, dan benar. Dari pentingnya kedudukan bahasa nasional, posisi bahasa indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus terutama bagi pembelajaran khususnya bahasa Indonesia sehingga bahasa Indonesia tidak akan terpinggirkan oleh bahasa asing karena bahasa indonesia adalah bahasa persatuan.
Dalam kaitannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa daerah masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Pada dasarnya bahasa Indonesia merupakan alat komunikasi antarsuku, antardaerah, yang dimiliki Indonesia sebagai negara yang multikultural.
Selain sebagai alat pemersatu antarsuku, antarbudaya, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai bahasa kedinasan juga sebagai pengantar di lembaga-lembaga pendidikan. Buku pelajaran pada umumnya ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan karya-karya ilmiah di perguruan tinggi pun ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Selain itu bahasa Indonesia juga memiliki fungsi sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional adalah sebagai berikut:
1.      Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakan nya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda.
2.      Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan Bangsa
Kedudukan kedua dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara lain yang terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara persemakmurannya. Contohnya saja India, Malaysia, dan lainnya yang harus bisa menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya.
3.      Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
Kedudukan ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dan sebagainya. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
4.      Bahasa Indonesia sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya
Sementara itu, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara akan dijelaskan berikut:
1.      Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
2.      Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan
Kedudukan kedua dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Cara ini akan sangat membantu dalam meningkatkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek)
3.      Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah
Kedudukan ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
4.      Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dibuktikan dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lainnya. Karena sangatlah tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan tentang suatu kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu sendiri, dan menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti.
Hasil dari perumusan “Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25-28 Februari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya dan bahasanya, (4) alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama.
Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing.
Hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayu lah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan. Dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, kita dapat dengan mudah berkomunikasi dengan masyarakat di seluruh pelosok nusantara yang masing-masing daerah memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang) dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Bahasa Indonesia yang dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia hanya menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga masih bisa dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Menurut Felicia (dalam Rendi, 2001), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan yaitu bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, khususnya bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia kurang terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.
Komunikasi lisan yang tidak standar dan sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti dalam berbahasa. Kesulitan pun terjadi pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa bagi kepentingan yang lebih terarah dan bermaksud tertentu, kita cenderung kaku, terbata-bata, mencampurkan bahasa standar dengan bahasa yang tidak standar, atau mencampurkan bahasa standar dengan istilah asing. Padahal, bahasa bersifat luwes dan manipulatif. Kita dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Seperti orang-orang berpolitik melalui bahasanya.
Arus globalisasi berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam era globalisasi, bangsa Indonesia harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan IPTEK itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo dalam Rendi, 2011).
Menurut Sunaryo (dalam Rendi, 2011), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) IPTEK tidak dapat tumbuh dan berkembang. Bahasa Indonesia di dalam struktur budaya memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan IPTEK. Tanpa peran bahasa serupa itu, IPTEK tidak akan dapat berkembang. Implikasinya menyebabkan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Jika cermat dalam menggunakan bahasa, maka kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar.
Hasil pendayagunaan daya nalar itu bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar juga. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas dalam sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes dan mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.
 jadi bahasa indonesia merupakan salah satu aspek yang penting dalam kehidupan bermasyarakat, bahasa indonesia lah yang menyatukan bangsa indonesia yang beragama suku dan budaya.
Globalisasi secara tidak langsung memberikan efek negatif dan efek positif terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Dari segi positifnya, bahasa indonesia sedikitnya sudah mampu bersaing dengan bahasa yang ada di ASEAN. Menurut sebuah media elektronik online (www.sloetan.com, 2011)
Indonesia terus memperjuangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi di kawasan ASEAN. Hal itu terungkap dari hasil Sidang ASEAN Inter Parliamentary Assembly (AIPA) ke-33 di Kamboja.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso sebagai salah satu delegasi Indonesia pada acara itu, di Jakarta, Jumat (23/9).
“Peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN, terbuka lebar. Karena secara mayoritas penduduk di kawasan ASEAN menggunakan bahasa Indonesia,” ujarnya.
Menurut dia, meski sebagian besar negara anggota ASEAN menyambut positif usulan tersebut, namun masih terdapat beberapa negara yang belum menyetujuinya. Diantaranya adalah Filipina dan Singapura. “Kita berharap, dalam waktu dekat kedua negara itu bisa menyetujui gagasan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN,” ungkap dia.
Priyo berharap, dalam pertemuan parlemen ASEAN yang akan diselenggarakan pada Oktober 2012 mendatang, seluruh negara anggota ASEAN dapat menyetujui usulan tersebut secara aklamasi. (SL-10)
Bahasa Indonesia tidak pernah mengalami keterpurukan di mata Internasional. Terbukti dalam penetapan bahasa resmi ASEAN indonesia mendapatkan peluang yang jitu untuk mewujudkan cita-cita bersama menjadikan bangsa Indonesia dikenal di tingkat Internasional. Keinginan untuk menjadikan bahasa nasional kita bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia bukanlah mimpi kosong belaka, setiaknya bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa resmi di kawasan regional Asia Tenggara atau ASEAN. Dalam pertemuan-pertemuan resmi tingkat ASEAN, bahasa Inggris menjadi satu-satunya bahasa resmi. Memang agak aneh bahasa yang asalanya ribuan kilo mil dari ASEAN ini menjadi satu-satunya bahasa yang di akui. Seolah tidak ada lagi bahasa nasioanl di kawasan ASEAN yang bisa menjadi pendamping bahasa Inggris.
Di Eropa tempat muasal bahasa Inggris, bahkan harus bersaing dengan bahasa nasional lainnya seperti bahasa Prancis, bahasa Spanyol, bahasa Jerman dan bahasa Rusia. Sekadar tambahan di benua Eropa, bahasa Inggris hanya dijadikan bahasa resmi di kawasan Britania Raya yang meliputi Inggris Raya dan Irlandia.
Bahasa Indonesia atau bahasa Melayu menjadi bahasa resmi setidaknya di 4 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Jadi cukup beralasan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai pendamping bahasa Inggris.
Faktor lain yang menjadi alasan bahasa Indonesia layak dijadikan bahasa resmi kawasan ASEAN yaitu bahasa Indonesia merupakan bahasa yang paling banyak di gunakan di kawasan ASEAN. Dari sekitar 550 juta lebih penduduk ASEAN, sekitar 300 juta mereka bertutur menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Bahasa Melayu merupakan cikal bakal dari bahasa Indonesia modern. Bahasa ini digunakan dalam percakapan sehari-hari di negara Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan, dan sebagian Filipina Selatan.
Pertimbangan lain bahasa Indonesia sudah masuk dalam kurikulum di beberapa negara di dunia seperti di Australia, Australia sendiri berniat ingin menjadi anggota ASEAN. Kabar lainnya bahasa Indonesia juga dipelajari di negara Vietnam, bahkan di Kamboja bahasa Indonesia cukup terkenal karena beberapa tahun silam ribuan pasukan penjaga perdamaian dari indonesia pernah bertugas di Kamboja.
Jika rencana ini berhasil maka jalan untuk mempersatukan ASEAN salah satunya lewat bahasa akan menjadi semakin mudah. Bahasa Indonesia menjadi identitas baru di kawasan regional ASEAN, suatu kawasan yang kelak menjadi salah satu kekuatan ekonomi baru dunia. Dengan diterimanya bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi di ASEAN akan lebih mempermudah komunikasi bisnis diantara rakyat di kawasan ini.
Setidaknya rakyat di kawasan ASEAN boleh berbangga salah satu bahasa di kawasan ini menjadi pendamping bahasa Inggris, sekedar perbandingan di Benua Amerika dari ujung utara benua Amerika yaitu Kanada sampai ujung selatan benua Amerika yaitu Argentina, tidak satupun bahasa lokal asli Amerika menjadi bahasa internasional, negara di kawasan ini hanya mengakui bahasa Inggris, Prancis, Spanyol dan Portugis sebagai bahasa pemersatu mereka. Jadi tinggal selangkah lagi bahasa kebanggan kita bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional yaitu menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Inggris.
Selain kemajuan bahasa Indonesia di kawasan ASEAN, ternyata bahasa Indonesia juga digunakan di Negara Timor Leste sebagai bahasa kerja atau bahasa dinas. Seperti yang dipaparkan Rendi (2011) bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari pernyataan di atas tentulah kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga dengan bahasa kita sendiri yang sedikit demi sedikit mulai dipakai oleh negara lain dan sedang dalam masa perjuangan mengukuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN.
KESIMPULAN
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi antarmanusia ataupun diri sendiri yang keberadaannya sangat penting. Bahasa yang telah dipakai dan diresmikan oleh sebuah negara, maka bahasa tersebut akan menjadi bahasa negara dan keberadaannyapun sangat penting guna pemersatu masyarakat majemuk seperti yang daianut oleh bangsa Indonesia.
Pembentukan bahasa nasional tidak akan pernah terlepas dari tonggak sejarah sumpah pemuda 28 oktober 1928. Berawal dari situlah bahasa Indonesia lahir. Berpijak pada UUD 1945 pula bahasa Indonesia tetap tegak berjaya di nusantara. Oleh karena itu semua, sebagai pemegang tongkat estafet pejuang era globalisasi harus mampu bertutur dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baku, baik, benar, serta mencerminkan kewibawaan bangsa Indonesia.
Dengan pelestarian penggunaan bahasa Indonesia yang baku, makan impian menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia akan segera terwujud. Semua langkah berada pada generasi era globalisasi pemegang tongkat estafet Sumpah Pemuda.
SARAN
Sebagai bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, Indonesia harus tetap tegak dan berjaya. Cita-cita bangsa yang belum terwujud akan ditopangkan bebannya kepada pemuda pemegang tongkat estafet pembangunan. Era globalisasi harusnya tidak menjadikan sebuah halangan untuk melangkah lebih maju. Kemajemukan bangsa Indonesia harusnya juga tidak menjadi batu sandungan untuk terus mempertahankan warisan para kaum nasionalisme.
Melalui bahasa Indonesia mari kita bersatu padu demi mewujudkan mimpi-mimpi yang belum tercapai. Keberagaman bahasa daerah, keberagaman dialeg, tidak akan menghalangi persatuan Indonesia. Sebagai rakyat bangsa Indonesia kita harus bangga dengan bahasa yang kita pakai. Negara lain belum tentu memiliki bahasa negara pascakemerdekaan.
DAFTAR RUJUKAN
Aminuddin. 2011. Semantik. Bandung: Sinar Baru Aglesindo.
Aji, Rizki. 2011. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Negara, (Online), (http://rizkiaji22.blogspot.com/2011/11/bahasa-indonesia-sebagai-bahsa-nasional.html), dikases 21 September 2012.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Kushartanti. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Depok: Grasindo.
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rhineka Cipta.Suriasumantri, Jujun S. 1994. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ramadhan, Fauzan. 2011. Pentingnya Belajar Bahasa Indonesia, (Online), ( http://fauzanalkahfi.blogspot.com/2011/10/pentingnya-belajar-bahasa-indonesia.html), diakses 21 September 2012.
Ramlan, Ari. 2010. Pembakuan Bahasa Indonesia, (Online), (http://ramlannarie.wordpress.com/2010/06/09/pembakuan-bahasa-indonesia/), diakses 26 Oktober 2012.
Rendi. 2011. Pentingnya Bahasa Indonesia dalam Komunikasi, (Online), (http://sirendi.blogspot.com/2011/10/pentingnya-bahasa-indonesia-dalam.html), diakses 21 September 2012.
Rosidi, Ajip. 2001. Bahasa Indonesia Bahasa Kita. Bandung: Pustaka Jaya.
Rusdi. 2010. Asal Usul Nama Indonesia, (Online), (http://history1978.wordpress.com/2008/11/07/siapa-penemu-nama-indonesia/), diakses 3 November 2012.
Santoso, Kusno Budi. 1990. Problematika Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Sapto, Dwi Aji. 2011. Pengaruh Bahasa Daerah dan Bahasa Asing Terhadap Bahasa Indonesia, (Online), (http://dwiajisapto.blogspot.com/2011/02/pengaruh-bahasa-daerah-dan-bahasa-asing.html), diakses 26 Oktober 2012.
Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 2010, (Online), (http://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf), diakses 26 September 2012.
Wawan. 2011. Hubungan Bahasa Daerah dengan Bahasa Indonesia, (Online), (http://wakuadratn.wordpress.com/2011/08/05/hubungan-fungsi-bahasa-daerah-dengan-bahasa-indonesia/), diakses 26 Oktober 2012.
2011. Sejarah Bahasa Indonesia, (Online), (http://blog.wisma-bahasa.com/?p=17), diakses 21 September 2012.
2010. Sejarah Nama Indonesia, (Online), (http://www.pustakasekolah.com/sejarah-nama-indonesia.html), diakses 3 November 2012.
2010. Wikipedia: Sumpah Pemuda, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda), diakses 21 September 2012.



tersedia juga dalam format PDF jika dijadikan format pembuatan artikel sesuai dengan PPKI (Pedoman Penulisan Karya Ilmiah) yang diterbitkan oleh Universitas Negeri Malang (UM)