greeting

SELAMAT DATANG | WELCOME

Jumat, 23 November 2012

Senja di Pelataran


Ini bukanlah sebuah syair yang menggambarkan apa yang aku lihat dalam senja itu. Tapi aku ingin kau mengetahuinya bahwa satu sisi darimu adalah aku yang akan selalu menyadarkanmu. Walaupun kau kiranya tak sudi mendengar apa yang aku isyaratkan.

Apa pernah mereka memikirkan bagaimana perasaanmu? lantas mengapa masih juga kau memikirkan bagaimana perasaan mereka?masihkah kamu berani berharap jika harapan kamu itu yang hendak bertunas sudah mengering dan lapuk?ketika cakrawala sudah tak tampak kilau jingganya, disitulah kamu duduk menikmati senja di pelataran.Masihkan berani berharap untuk dipikirkan oleh mereka jika kau mengetahui bahwa kau tak ada hargana jika kau tak memiliki sesuatu yang mereka butuhkan. Cakrawala mulai meneduhkan pandanganmu yang sayu itu, pandangan yang entah kau lantunkan untuk siapa, untuk harapan atau untuk senja di pelataran ini?Waktu mungkin tak berpihak padamu, demikian pula gemericik gerimis di pelataran ini tak pernah meneduhkan cakrawalamu. Hentian harapan tak bisa membawa fajar yang kau isyaratkan membawa keterangan dan menyisakan cakrawala menghampiri dalam senja yang kau nanti di pelataran ini.

Tak ingin aku membagi benakku kepada siapa saja. Tak fajar tak pula senja yang aku nantikan. Bukan karena aku membenci fajar yang membawa sinar kuning itu, akan tetapi senjalah yang selalu menemani biji harapanku dan menghadirkan mendung di pelataran ini. Menjadikannya gerimis di pelataran.
Bukan dua hal yang mengisyaratkan perbedaan, antara fajar dan senja. akan tetapi ini tentang bagaimana jika kedua hal yang tidak kusukai itu menggerayangi sekujur jiwaku dan menjadikannya tiada. Hanya bisa terpaku menganga di pelataran tanpa nyawa yang menancap dalam raga ini dan mengunggu senja yang melelahkan di temani gerimis di pelataran ini.
Hangatnya guratan lazuardi fajar tak akan sampai ke persadaku, pelataranku, karena harapan yang aku bawa ini telah kering dan rapuh. Tak ada gunanya aku mempercayai hangatnya fajar yang menjadikan harapanku tumbuh. Kini senja sudah sudi meneduhi harapan yang rapuh itu, meneduhi pandangan sayuku walau senja di pelataran ini menghunuskan belatinya tepat di jantungku yang menjadikanku tiada bernyawa lagi.
Aku tak butuh luka yang menganga ini sembuh, yang aku inginkan harapan ini dapat tumbuh kembali. Biji harapan ini sudah tak mampu meneduhkan terik siang, dan biji ini menyisakan pilu yang tak mampu kuucap dengan bahasa apapun. Aku ingin senja ini segera menjemputku serta biji harapan pupus ini, agar di pelataran ini tak ada gerimis lagi.

Bukankah kau sudah memahami bagaimana aku mengujarmu, bagaimana pula aku memahamimu sebaik kau memahami senja di pelataranmu itu. Tak ada biji harapan yang mengering dan rapuh membuat segalanya menjadikan asa. Biji itu akan dijatuhkan elang entah di mana temapat yang tak kau duga, termasuk di persada pelataranmu itu, dikala senja menyapamu dengan lembut dan esok fajar akan menghangatkan biji harapanmu itu.
Tak pernah kau lupa kau pula yang menjadikannya tiada, biji yang amat kau sayangi kau pulalah yang menjadiakannya kering dan rapuh. Apa harus kau melayangkan jiwamu untuk memberi asa terhadap bijimu itu dan menjadikan senja di pelataranmu dipenuhi rintik gerimis jarum yang mencabik-jabik ragamu pula itu? Bukankah kau mengetahui cara memutar lazuardi untuk persadamu, untuk biji harapanmu, untuk indahnya senja di pelataran.



SENJA DI PELATARAN BAGIAN 1
(Biji Harapan)